Hafal Kitab
Wajarlah kalau santrinya bisa hafal Alfiyah karena kiainya hafal Alfiyah dan juga Fathul Qarib.
Pada
suatu hari menyampaikan keberatannya saat melihat kondisi santri yang
semakin jauh dari dunia perkitaban. “Orang sekarang itu sudah kurang
minat mempelajari kitab,” keluhnya, “beda dengan santri-santri dulu.”
“Iya, sekarang memang begitu,” jawab Kiai Mahfudh.
“Bahkan, ada santri yang terhadap nama mushannif (pengarang) kitabnya saja tidak tahu,” imbuh Kiai Ishom, “parah, bukan?”
“Namun,
kita juga harus bersyukur,” timpal Kiai Mahfudh berusaha menghibur,
“masih ada di antara kita yang bukan saja hafal judul kitab dan nama
pengarangnya, sama harga kitabnya pun beliau hafal, suatu hal yang di
zaman dulu tidak ada seorang pun yang mampu seperti itu!”
“Wah, masak?”
“Iya,
itu lho Kiai Muqsith,” balas Kiai Mahfudh sambil melirik Kiai Muqsith.
Kiai yang dilirik ini memang pengasuh pondok yang juga punya toko kitab
Cara Melawan Ngantuk
Salah
satu guru kami di madrasah tsanawiyah dulu bernama Pak Miskala. Beliau
adalah tipe guru yang mudah akrab dengan siswa, meskipun bukan berarti
gampang roco dengannya. Santai dan berseling humor di kala mengajar merupakan nilai lebih yang dimilikinya sehingga murid-murid menyukainya.
Pelajaran yang diampu beliau adalah Kaidah Fiqhiyah. Kitab pegangannya adalah Faraidul Bahiyyah fi Qawaidil Fiqhiyyah.
Kitab ini berisi kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan pengambilan
hukum fikih. Bagi kami di kala itu, dan apalagi sekarang, materi
tersebut tergolong agak berat. Butuh logika dan silogisme untuk
menerapkan contoh kasusnya.
Di kelas kami, kelas III-A Madrasah
Tsanawiyah Annuqayah, Gulu-Guluk, Sumenep, jatah waktu pelajaran ini ada
pada jam terakhir, jam capek dan jam mengantuk. Sering dijumpai murid
yang tertidur dengan kepala tertunduk di atas kitab. Situasi ini
dimanfaatkan Pak Miskala untuk menggoda-goda.
“Wa qola … dan berangkatlah …,” terdengar suara Pak Miskala memberi makna, diikuti para murid memaknai (makna gandol) kitabnya.
“Loh, Pak …,” mendadak terdengar celetuk dari seorang murid, “kayaknya dari dulu qola artinya berkata, Pak, masak yang ini berangkat?”
Karena suara si murid ini lantang, murid yang lain, yang pada ngantuk, akhirnya kembali berbinar.
“Ooo … iya ya. Rupanya kalian sudah tahu … nah, sekarang sudah tidak ngantuk lagi kan?”
Anak-anak pun tertawa.
Pantang Pulang Sebelum Makan
Di
sebagian besar kediaman pengasuh pondok pesantren di Madura, selalu
tersedia makanan berat (nasi) untuk tamu, terutama bagi mereka yang
datang rombongan untuk memondokkan santri baru. Ada tamu yang biasanya
menolak dikasih makan dengan maksud tidak merepotkan. Ada pula rombongan
dari daerah tertentu yang “pantang pulang sebelum makan”. Kiai sudah
tahu terhadap kedua tipe tamu seperti ini.
Biasanya, tamu
pengantar santri baru ini datang pada Ahad atau Rabu. Kebetulan, hari
itu adalah Rabu, Ayah Zuhair membawa rombongan tetangganya yang mau
mondok di tempat Zuhair menimba ilmu. Cara ini lazim agar si anak mudah
kerasan kalau ada teman sekampungnya.
Lalu, ayah Zuhair mengajak
Zuhair ikut serta. Kebetulan Zuhair sedang duduk bersama Ghaffar. Lantas
Zuhair pun mengajak Ghaffar agar ikut sowan bareng dia dan orang
tuanya.
Zuhair: “Far, ikut sowan yuk!”
Ghaffar: “Makasih, aku masih kenyang!”
Ilmunya Saja Dibagikan Cuma-Cuma, Apalagi Cuma Cumi-Cumi
Setiap
pagi ada abang becak yang masuk ke pekarangan rumah kiai. Ia adalah
tetangga yang dicarter tahunan untuk mengangkut peralatan dan jualan
kiai ke warungnya yang terletak di dekat pondok setiap pagi dan sore.
Sebetulnya bisa saja kiai beli becak untuk menghemat biaya produksi,
tapi mungkin memang itu pilihan agar tetangga dekat kiai dapat pekerjaan
mengantar panci-panci berisi di pagi hari dan menjemput panci-panci
kosong di sore hari.
Di
samping jualan nasi, kiai juga jualan es. Jelas ini sebagai tambahan
pemasukan keluarga karena kiai itu tidak ada yang menggaji, hidup dari
usaha sendiri tapi bertanggung jawab untuk mengurus keberlangsungan
pendidikan, pondok, dan santri. Makanya, tidak ada yang memperebutkan
pekerjaan kiai.
Es ini biasanya diangkut pagi-pagi, dibawa dalam
sebuah kenjangan yang sangat besar. Saat melewati musala, tiba-tiba
Wildan turun dari musala dan langsung mengambil sebuah es lilin dan
mencucupnya.
Dua santri yang mengangkut es sontak marah. Wong
mereka tiap hari angkut-angkut es pun tidak pernah selancang itu, lah
kok ini santri baru sudah berani?
“Kembalikan! Itu haram. Kamu ambil es milik kiai tanpa bayar!”
“Ilmunya kiai itu diberikan cuma-cuma setiap hari secara gratis, apalagi cuma sebatang es,” jawab Wildan kalem.
Arti Puntak
Saat
dulu di Madura tidak banyak orang mampu berbahasa Indonesia, Kiai
Warits Ilyas sudah dikenal orang sebagai kamus berjalan. Kehebatan
beliau juga masyhur di bidang logika, arudl-qawafi, dan balaghah.
Pada
suatu hari datang seorang tamu yang membawa “masalah”. Si tamu
mengajukan pertanyaan setelah ditanyai apa keperluannya. Ia mengaku
tidak paham arti kata puntak.
Kiai Warits berkata bahwa beliau juga tidak tahu apa itu puntak. Lantas beliau balik bertanya dalam bahasa Madura, “Puntak? Apakah Anda tidak salah baca atau salah dengar?”
“Tidak, Kiai, memang begitu.”
“Bagaimana susunan kalimatnya?”
Si tamu tersenyum lebih dulu, malu-malu, setelah akhirnya menjawab, “Mohon maaf, Kiai. Saya temukan puntak ini dalam lagunya Rhoma Irama yang berjudul ‘Penasaran’. Begini: aku puntak/merasa heran/kalau dia/jadi rebutan ….”
Minggu, 20 Mei 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
strategi agar tidak disuruh mengerjakan soal di depan kelas
Strategi Agar Tidak Disuruh Mengerjakan Soal di Depan Kelas Kamu takut disuruh guru atau dosenmu maju ke depan kelas buat ngerjain s...
-
Tebak-tebakan S. Bagio buat Benyamin Sueb Saleh Abdullah 24 November 2017 Mop 23 [ MOJOK.CO ] “Tebak-tebakan kayak begini nih: ke...
-
Santri Sowan Kiai: Pantang Pulang Sebelum Makan M. Faizi 22 Oktober 2017 Mop 39 Hafal Kitab Wajarlah kalau santrinya bisa hafal...
-
Dapat Pulsa dari CELUP Zulfianto M. Biahimo 15 Januari 2018 Mop 26 [ MOJOK.CO ] “Padali pulsanya banyak, katanya dapat dari CELUP...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar