Minggu, 20 Mei 2018

strategi agar tidak disuruh mengerjakan soal di depan kelas

Strategi Agar Tidak Disuruh Mengerjakan Soal di Depan Kelas

Kamu takut disuruh guru atau dosenmu maju ke depan kelas buat ngerjain soal? Bahkan kamu  sering mengalaminya? Nah, buat kamu yang  sering disuruh guru atau dosen buat ngerjain soal di depan kelas kamu gak perlu takut kok. Ada strategi yang bisa kamu coba agar kamu gak disuruh guru atau dosen mengerjakan soal di depan kelas. Berikut strateginya:

1. Perhatikan saat guru atau dosenmu sedang menjelaskan
 
Waktu guru atau dosenmu sedang menjelaskan materi pembelajaran di kelas biasakan untuk selalu memerhatikan beliau. Jangan pada saat guru atau dosenmu sedang menjelaskan materi pembelajaran, kamu malahan asyik sendiri dengan ngobrol sama temen, melakukan gerak-gerik yang mencurigakan, dll. Fokus aja perhatiin guru atau dosenmu di kelas. Memerhatikan tidak hanya ke guru atau dosenmu saja tapi lebih ke materi pembelajarannya. Jangan terlalu memerhatikan gerak-gerik beliau. Ketika ada suatu yang kamu lakukan sampai ketahuan olehnya,  bersiaplah untuk disuruh mengerjakan soal di depan kelas. Disuruh guru atau dosen  mengerjakan soal di depan kelas itu menakutkan rasanya apalagi kalau guru atau dosennya itu tipe killer. Takut gak bisa jawab soalnya, kemudian malu sama temen-temen plus dikasih hukuman pula.

2. Rajin-rajin bertanya
 
Jadilah siswa atau mahasiswa yang aktif baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Tunjukan pada guru atau dosenmu kalau kamu siswa atau mahasiswa yang aktif dan rajin. Kamu bisa mengambil perhatian mereka dengan cara rajin-rajin bertanya pada saat jam pelajaran di kelas dan di luar jam pelajaran. Perbanyak dan rajin bertanya semakin bagus. Mereka akan merasa bosan dengan kamu yang nanya-nanya mulu. Semakin rajin kamu bertanya, mereka semakin menyadari kalau kamu belum paham sama apa yang mereka jelaskan di kelas. Lain halnya kalau kamu jarang bertanya. Jarang bertanya sama guru atau dosen malahan membuat mereka merasa bahwa kamu sudah benar-benar paham terhadap apa yang dijelaskan oleh mereka. Maka dari itu, untuk memastikan kepahaman kamu terhadap materi pembelajaran yang diajarkan, mereka menyuruh kamu untuk mengerjakan soal di depan kelas.

3. Jangan sok pinter, jangan sok bodoh juga
 
Ada 4 tipe siswa atau mahasiswa di dalam kelas yakni; ada yang sok pinter, ada yang sok bodoh, ada yang pinter beneran, dan ada yang bodoh beneran. Setiap proses belajar dan mengajar di kelas si guru atau si dosen bakal nanya ke siswa atau mahasiswanya. Ketika ternyata kamu yang ditanya oleh guru atau dosenmu terhadap sebuah pertanyaan, lebih baik jawab sepengetahuan kamu aja. Jangan jadi siswa atau mahasiswa yang sok pinter, jangan juga jadi siswa atau mahasiswa yang sok bodoh. Jadi siswa atau mahasiswa yah kalau udah pinter ya pinter aja jangan dibodoh bodohin, kalau bodoh yah bodoh aja jangan dipinter pinterin.
Baca juga: 7 Hal yang Paling Ditakutkan Ketika Sekolah

4. Pura-pura izin ke WC
 
Gak usah sok jadi siswa atau mahasiswa yang gak nakal. Sekali-kali kamu harus jadi siswa atau mahasiswa yang nakal. Buat berjaga-jaga biar kamu gak disuruh ngerjain soal di depan kelas, kamu bisa pura-pura izin ke WC. Padahal aslinya kamu gak WC tapi ke perpustakaan, ke kantin, dll. Jangan balik sebelum jam pelajaran selesai. Tapi jangan sampai ketahuan sama guru atau dosen lainnya.

5. Duduk diposisi yang gak mudah terlihat sama guru atau dosenmu
 
Atur posisi dudukmu di kelas. Sebisa mungkin duduklah di posisi paling belakang tengah atau paling belakang pojok. Dateng pagi-pagi kalau perlu biar gak berebutan sama temen sekelasmu. Pokoknya pilihlah posisi tempat duduk yang tidak mudah terlihat oleh guru atau dosenmu. Posisi duduk yang paling mudah terlihat ada di bagian depan dan tengah. Hindari duduk diposisi depan atau dekat meja guru atau dosen. Kamu akan lebih sering ditunjuk oleh guru atau dosen jika posisi dudukmu berada di depan atau dekat mereka.
Cari sekolah / perguruan tinggi terbaik di sekitarmu hanya di edumor.com!

6. Berlagak sok membaca buku atau menulis
 

Setelah itu kamu bisa berlagak sok membaca buku atau menulis. Siapkan buku pelajaran, buku catatan, dan alat tulis di mejamu. Selama proses belajar mengajarkan berlagaklah seperti sedang membaca buku pelajaranmu. Kemudian, coret-coret buku pelajaran atau buku tulis supaya terlihat bahwa kamu sedang mencatat materi pelajaran padahal gak nyatet sama sekali. Membaca buku pelajaran dan menulis merupakan sebuah bentuk perhatian kamu terhadap materi pembelajarannya. Dengan begitu, kamu seolah-olah sedang mengikuti proses belajar mengajar dengan baik.


87% Mahasiswa di Indonesia Salah Jurusan!
Pastikan kamu telah memilih program dan beasiswa yang tepat. akun kamu segera untuk mendapatkan rekomendasi lebih dari ribuan info jurusan dan beasiswa khusus untuk kamu!

makhluk misterius

Bayangan Makhluk Misterius di Kebun Kelapa

Ada satu kisah saat Pak Haji masih muda dulu. Saat itu beliau masih berpacaran dengan seorang gadis yang kini telah menjadi istrinya itu. Kala itu pacarnya tinggal di kampung sebelah yang jalan menuju ke sana dari kampung Pak Haji masih berupa jalan setapak dan melewati hutan. Karena selalu kangen, minimal dua kali seminggu Pak Haji bertamu. Biasanya naik sepeda, kadang jalan kaki melewati kebun kelapa.
Suatu hari pak Haji nge-date ke rumah pacarnya. Saking asyiknya bercerita, ia kebablasan hingga malam. Biasanya pulang sebelum senja, sekarang sekitar pukul sembilan malam baru jalan pulang. Walau sedikit takut, berani saja karena malam itu bulan agak sedikit terang, sedangkan lampu jalan sudah tentu masih barang asing.
Pak Haji mulai jalan. Sepanjang perjalanan aman-aman saja, bahkan ketika melewati hutan. Namun, ia terkejut bukan main ketika tiba di kebun kelapa di ujung kampung. Pak Haji melihat ada bayangan besar setinggi enam meter di pinggir jalan.
Celaka kita, Pak Haji membatin.
Tanpa tunggu lama, berbekal doa-doa yang dihafal, ia langsung komat-kamit dan meniup ke arah bayang-bayang itu. Tidak mempan. Ia lanjut baca mantra lain yang diarahkan ke sebuah batu, lalu melempar ke arah bayangan itu. Tidak mempan. Bergerak pun tidak. Ulang-ulang, segala doa pak Haji bacakan, tidak mempan juga.
“Astaga. Ini barang dia kuat sekali e. Sial, apa ini?” ucap pak Haji sambil balik arah.
Ia tidak berani melanjutkan perjalanan, tidak mau ambil risiko jika nanti harus gulat dengan suanggi sebesar itu. Pak Haji memutuskan untuk balik menginap di kampung sebelah dan besok pagi saja baru pulang.
Pagi sekali, matahari juga baru pecah, Pak Haji akhirnya jalan pulang bersama beberapa warga yang hendak ke kebun. Saat tiba di kebun kelapa, di lokasi ia melihat bayangan raksasa semalam, Pak haji pukul jidat sambil geleng-geleng.
“Cukimai lebebaek e!!! Sial dobel-dobel e!!! Beeeh, binatang!” makinya kesal.
Bagaimana tidak, bayangan raksasa yang dikira suanggi oleh Pak Haji tadi malam ternyata sebuah eksavator milik perusahan yang teparkir.
Suanggi Tiang Listrik
Kisah-kisah mengenai suanggi begitu ada banyak di Halmahera. Tidak semua seram, banyak juga kisah humor suanggi seperti berikut ini.
Suatu malam, ketika purnama begitu sempurna, ada tiga suanggi berkumpul untuk menjalankan ritual: mencari tumbal. Ritual itu kadang menjadi ajang adu saing antarmereka. Siapa yang mendapat tumbal paling banyak dalam waktu singkat, ialah pemenang dan ilmunya makin tinggi dan kuat.
Suanggi pertama langsung terbang menghilang mencari tumbal. Sepuluh menit berselang, ia kembali dengan mulut penuh darah.
“Weeeh, ngana luar biasa!” ucap suanggi kedua dan ketiga.
Tiba giliran suanggi kedua. Tanpa basa-basi ia langsung mengudara dan cuuuz … enam menit kemudian kembali dengan mulut merah penuh darah pula.
“Weeeh, ternyata ngana lebih cepat e,” ujar suanggi pertama salut.
“Hahaha, sekali terbang dua mangsa saya santap tadi,” ujar suanggi kedua.
“Mantap! Mantap!”
Suanggi ketiga tak mau kalah. Ia langsung tancap gas terbang tinggi dan menghilang. Baru berselang dua menit, suanggi ketiga kembali dengan mulut penuh darah kental.
“Ampuuun, ngana pe cepat!!!” kata suanggi pertama.
“Luar biasa! Ngana juara! Dapat berapa mangsa?” tanya suanggi kedua.
“Cukimai! Dapat mangsa apa. Kita (saya) tra (tidak) lihat tiang listrik di ujung kampong sana,” keluh suanggi ketiga sambil memegang bibir penuh darah. Giginya patah akibat menabrak tiang listrik desa yang baru ditanam.
Pergi Berobat
Lupakan suanggi, mari kembali ke Pak Haji. Akhir-akhir ini kesehatan Pak Haji kurang baik. Beliau batuk-batuk. Mungkin karena pengaruh usia yang sudah tua. Oleh anak-anaknya, diputuskan ia harus ke Ternate untuk periksa di rumah sakit ditemani anaknya, Jubaedah.
Tibalah Pak Haji di rumah sakit Ternate dan menemui dokter.
“Pak Haji, ini nanti harus di-rontgen dulu ya, biar kita bisa tahu penyakit dalamnya,” ucap dokter setelah memeriksa.
“Bapak Dokter, rontgen itu barang apa lagi e?”
Rontgen itu semacam foto biar bisa lihat itu dalam tubuh. Jadi Pak Haji harus difoto dulu.”
“Oooh, kalau begitu bagaimana kalau Bapak Dokter rontgen saya di taman saja e. Biar bagus. Kebetulan saya sudah lama tidak punya foto di taman.”
Bapak Dokter pukul jidat.
Beli KFC
Setelah memeriksakan diri di rumah sakit, pak Haji diajak anaknya keliling-keliling di mal. Karena lapar, anak bapak itu mampir ke gerai KFC untuk memesan makanan.
“Selamat sore. Mau pesan makan apa?”
“Oh ya, kami mau pesan ka ef si dua.”
“Ayamnya pakai dada atau paha ya?”
“Paha satu deng dada saja. Dibungkus ya.”
“Oh iya.”
“Eh, tapi tunggu, tunggu,” Pak Haji buru-buru menambahkan. “Bungkus nasi sama ayam dipisah ya. Takut nanti itu ayam de makan nasi kasih habis lagi.”
Kasir geleng-geleng kepala.
Rebonding
Mumpung sedang di kota, Jubaedah mampir ke salon untuk meluruskan rambutnya. Rambutnya yang agak keriting jadi lurus banget. Melihat itu, Pak Haji terheran-heran.
“Eh, Anak, ngana pe rambut bagaimana kong so lurus bagini?”
“Direbonding di salon toh, Papa.”
“Hah, rebonding itu binatang apa lagi gah?”
“Rebonding itu artinya meluruskan. Jadi pakai alat yang mirip gata-gata (penjepit makanan) begitu.”
“Oooh, bagitu.”
Saat kembali ke kampung, Pak Haji langsung memimpin Salat Magrib karena dia imam desa. Setelah ikamah selesai, beliau langsung maju di tempat imam dan berujar.
“Ayoo, jamaah, rebondingkan saf!!!”
Jamaah samua baku haga heran.

rumah makan padang

Maafkan Saya, Tatang, Maafkan saya, Rumah Makan Padang

Mengalahkan Pesaing
Sewaktu masih kuliah saya pernah punya gebetan, sebut saja si Doi. Ia datang dari Priangan timur, kuliah di Bandung untuk menggapai masa depan, tinggal di rumah bibinya di daerah Buah Batu. Orangnya lucu dan suka bergaul sehingga Si Doi juga banyak diminati teman yang lain. Pokoknya persaingan amat ketat untuk pedekate dengan dia. Dalam situasi tersebut, saya harus punya strategi yang bagus.
Di suatu Sabtu sore yang berangin, saya coba-coba main ke rumahnya dengan alasan yang amat jadul kalau didengar hari ini, tapi sangat ampuh di zaman itu, yakni pinjam catatan kuliah. Ini memang modus operandi pemuda era ’90-an.
“Iyah, ka bumi weh, aya Tatang kok,” ujar Doi waktu ditelepon dari telepon umum ke nomor rumahnya. Dia bilang, silakan datang ke rumah, kebetulan Tatang juga sedang ada di rumahnya.
Siapa Tatang? Pertama, Tatang adalah nama yang disamarkan, begitu pun nama tempat dan konteksnya yang pada beberapa bagian didramatisir dengan hiperbola. Tatang disamarkan untuk menjaga integritasnya. Tatang itu teman satu angkatan di fakultas tapi lain jurusan, yang telah coba-coba mencuri start, datang lebih dulu ke rumah Doi.
Dagdigdug hati saya tak keruan mendengar kabar dari telepon tersebut. Tak enak buat bilang tidak jadi ke rumahnya, tapi saya pun okein untuk datang meski agak ragu. Jangan-jangan Tatang adalah pacarnya? Jangan-jangan baru pendekatan juga seperti saya? Daripada penasaran, saya pergi juga ke rumah Doi.
Singkat cerita saya naik motor, dari Gatsu ambil arah timur, lalu belok ke kanan di Jalan Turangga, potong Jalan Karawitan menuju Buah Batu, lalu akhirnya tiba di depan pintu rumahnya. Aha! Tampak terlihat di atas keset depan pintu ada sepasang sepatu (satu kanan, satu kiri): pasti itu sepatu Tatang! Sepatu milik pesaing!
Refleks saja sebelum mengetuk pintu saya ambil sepatu itu yang sebelah (sepatu kirinya), lalu saya lempar ke genteng rumah tetangga. Sehabis itu saya baru mengetuk pintu.
“Eh, sudah dateng. Masuk, tuh ada Tatang. Mau minum teh atau kopi?” sambut Doi.
“Kopi,” kata saya sambil duduk di ruang tamu. Ada Tatang di sana. Tatang mesem-mesem ketangkap basah. Suasana jadi kaku. Tatang serbasalah, saya pun juga. Sama-sama tepergok malam mingguan ke cewek yang sama. Apa dengan adanya henpon sekarang, ngapel berjamaah nggak disengaja model begini masih terjadi?
“Ditinggal ke dapur dulu yah, mau buat minum kopi.”
Kami berdua ditinggal di ruang tamu. Pada saat yang bersamaan mengalun suara mini compo di dapur; itu lagu Nicky Astria yang bernyanyi “Jarum Neraka”. Mumpung cuma berdua, saya ngomong pelan ke Tatang.
“Maneh aya perlu naon kadieu, Tang?” Pelan tapi tegas, seolah-olah ngajak konflik. Saya sedang tanya, apa tujuan Tatang ke rumah ini.
“Henteu, mampir hungkul, tadi kabeneran keur ka imah babaturan SMA, eh gening tatangga.” Tatang bilang ia kebetulan saja mampir karena waktu main ke rumah teman SMA-nya, ternyata deketan dengan rumah si doi (ah, modus, ujar saya dalam hati).
“Oh, sugan teh apel.” Kirain ngapel. Itu kata saya.
“Ah, heunteu, Bro, rek balik ieu oge.” Tatang bilang dia tidak sedang apel, hanya mampir, sebentar lagi dia janji akan pulang.
Akhirnya Doi bergabung lagi di ruang tamu. Ia datang bawa kopi di atas nampan, ada pisang gorengnya juga, ada satu gelas kopi buat saya, satu air putih buatnya, dan satu gelas kopi lagi buat Tatang.
“Mangga disambil!”
“Wah, ngerepotin,” ujar Tatang basa-basi. Saya mah anti-basa-basi, langsung bertindak seruput kopi, ambil pisang gorengnya, lalu dimakan, lalu kemudian nyeruput kopi lagi biar nggak seret di tenggorokan.
Tatang terlihat gelisah salah tingkah, tidak ambil pisang goreng, kopinya pun diminum sedikit. Tak lama Tatang pamit untuk duluan pulang, katanya ada keperluan penting yang mendadak. Si Doi keheranan.
“Eh, mau ke mana atuh, udah, santai aja di sini dulu. Ngobrol,” Doi mencegah.
“Ah, nggak. Urgent pisan euy. Nuhun.” Tatang lalu beranjak dari ruang tamu menuju pintu keluar untuk pulang. Saya duduk di ruang tamu menanti ketegangan karena akan terjadi sebuah kejadian (eng … ing … eng).
Tiba-tiba Tatang yang barusan sudah pamit mau pulang datang lagi ke ruang tamu.
“Eh, aya naon, Tang? Ada yang ketinggalan?” tanya Doi.
“Nggak, aduh, gimana yah?” Tatang seperti kebingungan.
“Kenapa emang, Tang?”
“Inih euy, sepatu, sepatu saya ilang satu,” kata Tatang sambil garuk kepala.
“Ah, masak ilang satu, mungkin pas ke sini memang pake sepatunya sebelah?” kata saya becandain. Tatang terlihat tak suka, buang muka dan langsung ketus menjawab, “Wah, nggak mungkinlah, masak dari rumah pake sepatu sebelah.”
“Cari lagi atuh, siapa tahu sepatunya ketendang, terus ada di tempat lain. Cari lagi atuh.” Itu si Doi menyarankan.
Tatang bergegas lagi ke teras diikuti Doi sebagai tuan rumah. Saya di mana? Di ruang tamu, senyum-senyum sendiri.
“Nggak ada euy, asli, nggak ada. Aya nu maok gitu?” Tatang menduga sepatu kirinya ada yang maling.
“Wah, teu mungkin atuh, kalo maling mah nggak mungkin ngambil sebelah aja. Dua-duanya atuh,” kata Doi.
“Iya, yah.” Tatang pasrah.
Di akhir kisah, Tatang yang datang bersepatu lengkap sekarang mesti menerima kenyataan pahit, sepatunya hilang sebelah dan ia pulangnya minjam sandal milik pembantu rumah Doi, swalow kekecilan warna kuning. Tatang kemudian meminta sepatu sebelahnya lagi, yang tidak hilang, ditinggal di rumah Si Doi.
“Eh, Tang, bawa aja juga sepatu sebelahnya, buat apa juga ditinggal di rumah?”
“Titip sini ajalah, malu bawanya.”
“Udah, bawa aja, buat kenang-kenangan,” kata saya ikut-ikutan.
“Aduh, euy,” keluh Tatang sambil melirik penuh curiga kepada saya.
Akhirnya Tatang benar-benar pulang, naik Honda Astrea Star, pakai sandal pinjaman pembantu sambil membawa kenangan buruk: sepatunya yang kanan saja, yang tidak hilang malam itu. Kasihan Tatang, musnah sudah semua pendekatannya oleh kejadian memilukan ini. Saya yakin ini kunjungan Tatang yang terakhir ke rumah si Doi
Tinggal saya dan Si Doi di ruang tamu.
“Kamu yah?” Si Doi curiga kepada saya, tidak saya jawab tentu saja. Biarlah sejarah ini tetap menjadi misteri.
“Kamu kan pelakunya?”
Saya tetap bungkam. Dalam hati saya hanya berkata, Oh, Tatang, maapkan saya telah keterlaluan.

Lupa demi Gengsi
Yang ini cerita lagi bersama si Doi juga. Tapi, konteksnya setelah kejadian dengan Tatang. Alkisah, sepulang kuliah dia ngajak saya makan siang di sebuah rumah makan Padang. Rumah makan ini memang favorit mahasiswa. Menunya lumayan, nggak mahal dan nggak murah, lokasinya di sekitar simpang Dago wilayah Bandung Utara. Kami boncengan motor Vespa, saya di depan, si doi diboncengan.
Singkat cerita, kami pun makan dan minum. Setelah selesai si Doi bilang begini, “Bayarin yah, lagi nggak punya uang.”
Saya terkejut, tapi tak diperlihatkan, karena uang saya juga tak cukup untuk bayar berdua. Saya telah salah sangka, saya pikir Doi yang akan traktir karena dia yang mengajak makan ke saya. Ternyata dia juga tidak punya uang.
Pada saat seperti itu, apalagi masa pedekate ke gebetan, gengsi harus dikedepankan.
“Siap, no problem. Kamu duluan aja ke parkiran, biar Aa yang bayar ke kasir.” Jawaban gengsi.
Aturan adat di rumah makan itu memang mengatur bahwa pelanggan silakan makan duluan, baru setelah kelar wajib lapor ke kasir, apa yang dimakan dan apa yang diminum. Untung sekali, di rumah makan itu struktur ruangnya kondusif. Ada dua pintu; satu pintu untuk masuk pelanggan yang akan makan, satu pintu lagi adalah pintu keluar. Meja kasirnya terletak di dekat pintu keluar.
Si Doi sudah keluar duluan dengan tenang lewat pintu masuk pelanggan. Sikapnya tenang karena tahu saya akan membereskan pembayaran. Ia duluan menunggu di parkiran motor. Saya tetap di meja makan menunggu beberapa saat hingga dia benar-benar keluar.
Setelah agak lima menitan, saya pun beranjak dari meja makan, keluar. Lewatnya? Juga dari pintu masuk pelanggan, tak melewati meja kasir. Pada saat itu suasana rumah makan memang sedang kondusif, ramai oleh pelanggan. Petugas kasir terlihat sibuk tak sempat memperhatikan orang-orang yang makan dan yang keluar. Saya lolos melenggang menuju parkiran.
“Udah dibayar?” kata Doi saat berjumpa di parkiran motor. Saya tak mengangguk, tak menggeleng, dan tak menjawab.
“Udah belum dibayar?” Ia tanya ulang saat di bocengan menuju pulang. Selama di vespa itu si Doi perhatian sekali, perhatian menanyakan terus apa saya sudah bayar.
Saya jawab akhirnya sambil ngegas Vespa di jalanan Dipati Ukur. “Lupa euy, udah bayar apa belum yah? Asli lupa.”
“Masak nggak inget? Curiga ah.”
Karena nggak dijawab dengan pasti juga, sepanjang jalan pertanyaan itu diulang terus. Saya cekikikan sambil melaju, dan tetap saya tak bilang jujur kepadanya. Biarlah ini menjadi misteri kedua yang saya simpan darinya.
Apa yang terjadi setelahnya? Saya tidak berhasil melanjutkan hubungan lebih serius dengan si Doi. Mungkin karena dapat karma dari Tatang, mungkin juga memang bukan jodoh. Jodoh saya mah kemudian adalah si Manis Manja yang sekarang jadi istri saya, yang pendekatannya berlangsung dramatis dan layak disimak karena mengandung kearifan lokal, tapi sayang kisah dengannya bukan untuk konsumsi publik. Atas nama cinta, saya tutup cerita ini. Demikianlah

ikan lele ulang tahun

Ikan Lele Ulang Tahun

Saya lupa kapan pastinya kenal dengan cerita-cerita mop. Yang jelas, saya punya banyak orang dekat yang jago cerita mop, dari kawan di kampus, organisasi, kawan sewaktu di penjara, hingga anggota keluarga sa sendiri. Di keluarga, adik laki-laki saya jagoannya: namanya Akbar, masih kelas dua SMP serta terkenal paling banyak mulut dan kapala angin (pengacau).
Pernah suatu ketika saat saya baru selesai makan dan sedang duduk santai memegang tusuk gigi, tiba-tiba ia datang merampas tusuk gigi tersebut.
“Eee Adlun e, hati-hati. Supaya ngana tahu e, barang kecil-kecil begini ini bahaya sekali,” katanya sambil mengacungkan tusuk gigi yang dirampas.
“Heh, bahaya dape apa?” Saya mengerutkan alis.
“Ah, coba ngana bayangkan. Pas pilot ada bawa pesawat, terus kita ambil ini tusuk gigi lalu kita tusuk itu pilot pe mata. Ngana pikir itu tara bahaya?”
Binatang. Sontak saya pun loncat ingin menjitak kepalanya.
Nah, dari dia pula banyak koleksi mop yang saya dapat untuk ditulis. Mop tidak hanya diambil dari kisah manusia semata, ada pula tentang binatang. Jika fabel menyajikan cerita-cerita mengandung pesan moral, lain halnya dengan mop binatang yang lebih banyak menyajikan kisah absurd nan jenaka.
Sebenarnya mop itu lebih kena kalau cerita langsung. Susahnya kalau dituliskan ya itu, malah jadi garing. Di bawah ini sa coba membagikan beberapa cerita binatang yang berhasil saya himpun. Salah duanya (pertama dan terakhir) dituturkan oleh Akbar. Selamat menyimak.
Istri Ular
Alkisah seekor ular pergi ke dokter hendak memeriksakan matanya.
“Dokter, penglihatan saya ini sudah lama terganggu.”
“Ayo, kita periksa dulu.”
Beberapa saat kemudian keluar hasilnya. “Ngana pe mata ini sudah minus. Jadi ini saya kasih kacamata untuk membantu.”
“Wah, terima kasih, Dokter,” kata si ular sambil memakai kacamatanya. Jangan tanya macam apa dia pakai itu kacamata.
Sang ular pun berjalan pulang dengan riang karena penglihatannya kembali cerah.
Namun, seminggu kemudian sang ular kembali menemui dokter dengan wajah yang murung. Melihat itu dokter lalu bertanya.
“Eh, Ular, kenapa ngana murung bagini?”
Sang ular hanya terdiam.
“Kacamata yang saya kasih itu kan so bagus, kurang puaskah?” tanya dokter ulang.
“Bukan itu, Dokter. Setelah pakai kacamata itu saya baru sadar selama ini saya kawin deng selang air.”
Ulang Tahun Ikan Lele
Suatu hari seekor ikan lele sedang berulang tahun. Ia berencana mengadakan pesta joget dengan megundang seluruh ikan yang ada. Undangan tersebar. Malam nanti pesta diadakan. Namun, ada segerombolan ikan teri yang tidak senang dengan pesta tersebut, sebab mereka tidak kebagian undangan.
“Cukimai nih ikan lele itu e, undang semua ikan, tapi tra undang kitorang e,” keluh seekor teri.
“Iyo tuh. Pokoknya nanti pas pesta mulai, kita kasih keosss.”
“Ide bagus itu, tapi kitorang tongka deng sopi dulu.”
“Weeeh, cocok!!!”
Gerombolan teri itu lalu berkumpul di sebuah pangkalan semacam markas untuk konsolidasi. Dua gelon sopi dihidangkan. Saat sedang meneguk sopi, tiba-tiba seekor hiu datang dengan wajah murung.
“Wahai, Hiu, bikapa ngana bikin muka sedih begitu?” tanya seekor teri.
“Ah kecewa, ikan lele tra undang kita di acara ulang tahun.”
“Passs, sama, kitorang juga begitu.”
“Jadi mari gabung sini sudah, torang minum sopi. Nanti baru torang kasih kaco itu acara,” ujar teri lainnya.
Si hiu pun akhirnya ikut ikan teri. Singkat cerita, setelah menghabiskan dua gelon sopi, gerombolan teri dipimpin si hiu itu menuju lokasi acara. Rata-rata mereka setengah mabuk. Saat tiba di lokasi dan hendak masuk ke acara, mereka diadang oleh seekor buaya yang terkenal paling ganas.
“Woeee, mau ke mana ngoni (kalian)?” tanya si buaya dengan suara keras kepada si hiu sebagai pemimpin barisan. Dengan wajah menunduk, si hiu menjawab, “Eh, Kaka, tidak, saya lagi bawa anak-anak ini pergi les di depan situ, cuma kebutulan lewat sini saja.”
Di belakang, pasukan hilang kayak kilat.
Kuda Bendi
Di Ternate dulu, sebelum ada mobil, kuda bendi menjadi alat transportasi andalan masyarakat. Alkisah pada satu hari ada sebuah bendi melintas di kawasan pertokoan Pasar Gamalama.
“Bendi! Bendi!” panggil seorang ibu
“Bagaimana, Ibu? Mau ke mana?” tanya om kusir
“Antar saya ke utara. Tapi, saya muat semen sepuluh sak, boleh?”
“Boleh sekali, Ibu.”
Mendengar jawaban om kusir, si kuda kaget bukan main lalu berbalik menatap tuannya dan berujar, “E setan, ngana ganti di depan sini. Ngana kira semen tra berat?”
Akhirnya disepakati mereka akan membawa lima sak semen sajam, lalu diantarlah si ibu ke tempat tujuan. Namun, dalam perjalanan terjadi sebuah insiden. Si kuda hampir menginjak seekor kucing yang menyeberang.
“Astagfirullah. E ngana ini jalan bae-bae sedikitkah. Mentang-mentang kita ini binatang kecil lalu ngana mau main injak begitu,” cecar si kucing yang naik pitam
Si kuda kaget bukan main dan berkata, “Weh, kita heran sekali eh, ternyata binatang juga bisa bicara e,” jara si kuda sambil menatap wajah kucing lalu berbalik menatap om kusir dengan terheran-heran.
“Iyooo, apalagi kita lebih heran lagi,” ucap om kusir.
Ayam dan Kucing
Entah sejak kapan dua binatang ini bermusuhan. Kadang cekcok, saling ejek, bahkan berujung pada perkelahian.
Suatu siang, matahari begitu panas, seekor ayam hendak menyeberang melintasi jalan aspal. Di seberang si kucing lagi duduk santai di rerumputan. Melihat ayam lewat, si kucing mulai mengejek.
“Ceh, binatang model ngana ini e, matahari panas-panas pakai baju bulu tebal, tapi tra pakai sendal. So begitu bajalan di atas aspal lagi. Ceiii.”
Mendengar ejekan kucing si ayam naik pitam.
“Eh, cukimai, daripada ngana, pakai baju lengan panjang, celana panjang, tapi biji-biji gantong di luar, gaya model apa itu!?!” teriak ayam.
Kucing langsung mati gaya.

gajah tidak bisa terbang?

Mengapa Gajah Tidak Bisa Terbang?

Perahu Karam
Pagi itu Markus dan Bapa Yos, ayahnya, pulang melaut dengan wajah gusar. Semalam ombak dan angin lebih ganas dari malam-malam sebelumnya, jadi Markus dan Bapa Yos mati-matian cegah perahu supaya tidak karam.
Tapi, takdir berkata lain. Mama Yos dan beberapa nelayan buru-buru membantu Markus dan ayahnya menarik perahu mereka yang hampir terbelah jadi dua. Begitu sampai di daratan, Mama Yos segera menghampiri.
“Anak, Pace, kamorang tra papa to?” Mama Yos khawatir. Bapa Yos cuma angguk-angguk kepala. Nelayan lain yang juga tetangga rumah mereka, Matius, menimpali, “Kenapa kamorang pu kapal bisa terbelah begitu?”
Mendengar itu Markus menjawab, “Pace, ko ada lihat karang yang di sanakah?” Pace Matius mengikuti arah yang ditunjuk Markus lalu mengangguk.
“Iyo, kenapa?”
“Nah, itu sudah. Tadi malam sa den Bapa tra ada lihat itu.”

Biar Tambah Semangat
Suatu hari guru-guru di sekolah Markus mengadakan sweeping alias memeriksa isi tas murid untuk mencari benda-benda yang seharusnya tidak dibawa ke sekolah. Sialnya, pagi itu Markus kedapatan membawa DVD porno dalam tasnya. Karena termasuk pelanggaran berat, Markus dipanggil kepala sekolah.
“Markus, ko tahu ka tidak ini barang apa?” Kepsek tanya sambil tunjuk DVD di atas meja.
“Iyo, Bapa, sa tau,” jawab Markus dengan muka pucat.
“Itu ko tahu kalau ini film dewasa, baru kenapa ko masih bawa ini ke sekolah?” Kepsek kembali menginterogasi.
“Begini, Bapa, sa bawa itu untuk ajak nonton teman-teman yang malas belajar. Biar dong lebih semangat.”
“Ko gila kah?!” Kepsek menggebrak meja dengan geram. Buru-buru Markus menambahkan, “Karena sa pu bapa pernah bilang ke sa pu mama begini: ‘Ma, co ko nonton ini film, biar ko tambah semangat,’ begitu …,” ujar Markus ketakutan. Mendengar itu Kepsek langsung gelagapan.

Mengapa Gajah Tak Bisa Terbang
Tadi di sekolah Bapa Guru menjelaskan kenapa burung bisa terbang. Katanya, itu karena dia punya pundi-pundi udara. Sampai di rumah Markus tanya ke Mama Yos.
“Ma, kenapa burung de bisa terbang, tapi gajah tra bisa?”
Mendengar pertanyaan itu Mama Yos ajak Markus keluar rumah. Dia kasih lihat beberapa burung merpati yang hinggap di atap seng rumah mereka.
“Ko ada lihat itu merpati hinggap di atap to?”
“Iyo, terus?”
“Anak kepala bodok ni!” Mama Yos menggeplak kepala Markus, kemudian melanjutkan, “Sekarang co ko bayangkan kalau gajah yang hinggap. Setiap hari kita pu atap bolong-bolong to!?”

Sa Masih Sekolah
Namanya juga anak muda, sedang dalam masa pubertas, Markus sudah tentu punya gadis pujaan. Sore itu ketika Markus dan Yakleb, teman karibnya, mau memancing di dermaga, dilihatnya Siska pujaan hatinya sedang duduk baca buku di bawah pohon kersen.
“Adooohhh, Yakleb, Siska de pu cantik apa yooo ….” Markus berhenti berjalan, mengagumi kecantikan Siska yang saat itu pakai jins selutut dan kaus hitam bertuliskan “I Love Papua”. Rambut Siska yang ikal panjang tertiup angin sepoi-sepoi.
“Begini, Kawan. Kalo ko memang suka sama Ade Siska, le baek ko bicara sekarang. Daripada besok de su dengan laki-laki lain, ko menyesal to?” Sebagai teman yang baik Yakleb memberi saran sambil merangkul pundak Markus.
Dalam hati Markus mengiyakan saran Yakleb. Siska memang cukup populer di daerah tempat tinggalnya. Markus juga tahu beberapa temannya ada yang naksir ade manis berkulit gelap itu.
Setelah kumpulkan keberanian Markus jalan menghampiri Siska. Detik itu juga dia mau katakan cinta.
“Halo, Kaka Markus, mo pi ke mana kah?” Siska menyapa ramah.
“Ah, sa mo pi memancing saja. Begini, Ade Siska …,” Markus memulai. Mengetahui Markus mau mengatakan sesuatu yang penting, Siska menyimak dengan baik.
“Kaka su lama suka sama ade. Ade mau jadi kaka pu pacar kah?” tanya Markus penuh harap.
“Adoh … Kaka, terima kasih eee. Tapi, maaf, sa tra bisa. Sa masih sekolah, jadi,” jawab Siska tanpa pikir dua kali. Mendengar itu buru-buru Markus menimpali,
“Oooh … tra papa, Adik. Kaka kira ko pu sekolah su libur.”

Nama Kucing
Markus kedatangan sepupu dari Ambon, namanya Frans. Di rumah Frans lihat Markus pelihara kucing ras warna putih yang cantik sekali. Sebagai pencinta hewan berbulu, sudah barang tentu Frans gemas melihat kucing Markus.
“Markus, ale pung kucing bagus eee … akang pung nama sapa la?” Sambil mengelus-elus sang kucing Frans menanyakan nama si kucing.
Markus yang sedang baring-baring nonton TV menjawab, “De pu nama Primadona Utamiria Setyaningrum Saraswati.”
“Tuangala eee … kucing pung nama panjang lawang. Tarus ale panggil akang sapa la?”
“Singkat saja, panggil PUSS to? Mo apa lagi?” jawab Markus sambil garuk-garuk pantat.

pencuri mangga

Pencuri Mangga Lebih Galak daripada Pemilik Mangga

Curi Mangga 1
Sore itu Ungke dan kawannya mau sekali makan mangga. Itu karena tadi siang sepulang sekolah mereka melihat mangga Pak Haji yang segar-segar. Tapi, rasa-rasanya untuk meminta langsung itu tidak mungkin. Pak Haji dikenal sebagai orang yang sangat kikir.
Maka tidak ada cara selain mencuri, Ungke serta kawannya bersepakat. Pohon mangga tepat berada di samping rumah Pak Haji. Strategi mulai disusun. Ungke bertugas sebagai juru panjat, sedangkan kawannya siaga di bawah pohon. Setelah merasa situasi cukup aman, aksi dimulai.
“Ungke … ko ambe yang di bawah-bawah saja.”
“Jang ribut … mo dapa dengar, Pak Haji?”
Ungke melempar mangga ke bawah. Kawannya bersiap menangkap. Sudah lima buah yang lolos diamankan. Sialnya, mangga keenam luput dari genggaman Ungke. Jatuh tepat di atap rumah Pak Haji. Beliau langsung bergegas keluar. Ungke juga meluncur laju ke tanah.
“Woooi! Kudacuki! Papancuri!” Pak Haji memergoki Ungke dan kawannya. Namun, mereka sudah berlarian terbirit-terbirit. Pak Haji meluapkan emosinya dengan berteriak.
“Anak babi! Kiapa sa pe mangga yang ko orang panjaaattt?!!”
Ungke yang mendengar teriakan itu dari kejauhan lantas menyahut.
“Bemana, Pak Haji tra ada ba kase siap tangga! Makanya tong panjaaattt!”

Curi Mangga 2
Semenjak kejadian pencurian Ungke, Pak Haji mulai bikin penjagaan ketat. Hampir tiap hari dia duduk di muka rumah. Entah sambil baca koran, minum kopi, bahkan makan di situ untuk memastikan agar tidak ada pencuri sekaligus memberikan pesan tersirat kepada Ungke dan siapa pun yang berniat mencuri untuk sebaiknya membatalkan niat.
Setiba waktu salat Asar barulah Pak Haji luput menjaga. Dan kebetulan papanya Ungke lagi lewat di depan rumah Pak Haji. Melihat buah mangga yang segar, dia akhirnya ingin makan mangga. Merasa Pak Haji tidak sedang mengawasi, tanpa pikir lama Papa Ungke langsung memanjat.
Belum sempat mengambil satu pun buah mangga suara Pak Haji sudah terdengar.
“Woooi! Cukimai! Pancuri! Turuuun!” teriak Pak Haji dari bawah.
Mendengar itu Papa Ungke kaget bukan main. Dia bergegas turun ke bawah. Ssseeet, Papa Ungke tepat meluncur di bawah. Belum sempat Pak Haji memarahi, paaak, Papa Ungke keduluan menampar Pak Haji.
“Ko bateriak kaya apa saja! Ko kira kalo sa jatuh, ko mo tanggungkah?”
Pak Haji membisu, Papa Ungke berlalu.

Curi Mangga 3
Ternyata bukan cuma Ungke yang ingin mencuri mangga Pak Haji. Angki, anak Pak RT yang juga kawan Ungke, punya hasrat yang sama. Sebab, tidak ada lagi mangga di kampung itu selain milik Pak Haji. Jadi, jika ingin menikmati segarnya buah mangga, mengingat Pak haji yang begitu kikir, tidak ada jalan lain selain mencuri.
Ketika melancarkan aksinya, keberuntungan belum memihak kepada Angki. Dia terpergok Pak Haji.
“Turun! Turun!” bentak Pak Haji.
Angki tidak bisa lagi ke mana-kemana. Dia berada dalam kendali Pak Haji.
“Memang ko orang ini, cuma tahu mencuri. Begitu ko diajar papamu? Ikut saya, biar papamu yang goso kau, anak tidak tahu diajar!” Pak Haji emosi betul. Namun, sebelum Pak Haji bergegas, Angki angkat bicara sambil melihat ke atas pohon.
“Papa, turun sudah, Om Haji dong so dapat kita ini!”
Pak Haji mematung.

Duit Hilang
Pagi itu sewaktu Ungke akan berangkat sekolah, dia kaget karena uang yang disimpan dalam saku celananya hilang. Jumlahnya lima ribu. Maka, datanglah Ungke mengeluh di hadapan mamanya. Kebetulan pagi itu Papa Ungke juga lagi membersamai Mama Ungke.
“Sa pe uang ada hilang. Mama tra ada liat kah?” Ungke memasang wajah sedih.
“Di mana ko simpan?”
“Ini, di kantong celana, Mama. Tapi so tra ada sudah.”
“Coba ko ingat lagi, barang ko simpan tampa lain, jadi. Ada berapa yang hilang?”
“Seratus ribu, Mama” Ungke menjawab spontan.
Papa Ungke yang sedari tadi cuma diam buru-buru bersuara.
”Cukimai, ngana, Ungke. Uang cuma lima ribu itu. Papa ada pinjam tadi belikan rokok.”
Ungke tertawa sejadi-jadinya.

santri sowan

Santri Sowan Kiai: Pantang Pulang Sebelum Makan

Hafal Kitab
Wajarlah kalau santrinya bisa hafal Alfiyah karena kiainya hafal Alfiyah dan juga Fathul Qarib.
Pada suatu hari menyampaikan keberatannya saat melihat kondisi santri yang semakin jauh dari dunia perkitaban. “Orang sekarang itu sudah kurang minat mempelajari kitab,” keluhnya, “beda dengan santri-santri dulu.”
“Iya, sekarang memang begitu,” jawab Kiai Mahfudh.
“Bahkan, ada santri yang terhadap nama mushannif (pengarang) kitabnya saja tidak tahu,” imbuh Kiai Ishom, “parah, bukan?”
“Namun, kita juga harus bersyukur,” timpal Kiai Mahfudh berusaha menghibur, “masih ada di antara kita yang bukan saja hafal judul kitab dan nama pengarangnya, sama harga kitabnya pun beliau hafal, suatu hal yang di zaman dulu tidak ada seorang pun yang mampu seperti itu!”
“Wah, masak?”
“Iya, itu lho Kiai Muqsith,” balas Kiai Mahfudh sambil melirik Kiai Muqsith. Kiai yang dilirik ini memang pengasuh pondok yang juga punya toko kitab
Cara Melawan Ngantuk
Salah satu guru kami di madrasah tsanawiyah dulu bernama Pak Miskala. Beliau adalah tipe guru yang mudah akrab dengan siswa, meskipun bukan berarti gampang roco dengannya. Santai dan berseling humor di kala mengajar merupakan nilai lebih yang dimilikinya sehingga murid-murid menyukainya.
Pelajaran yang diampu beliau adalah Kaidah Fiqhiyah. Kitab pegangannya adalah Faraidul Bahiyyah fi Qawaidil Fiqhiyyah. Kitab ini berisi kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan pengambilan hukum fikih. Bagi kami di kala itu, dan apalagi sekarang, materi tersebut tergolong agak berat. Butuh logika dan silogisme untuk menerapkan contoh kasusnya.
Di kelas kami, kelas III-A Madrasah Tsanawiyah Annuqayah, Gulu-Guluk, Sumenep, jatah waktu pelajaran ini ada pada jam terakhir, jam capek dan jam mengantuk. Sering dijumpai murid yang tertidur dengan kepala tertunduk di atas kitab. Situasi ini dimanfaatkan Pak Miskala untuk menggoda-goda.
Wa qola … dan berangkatlah …,” terdengar suara Pak Miskala memberi makna, diikuti para murid memaknai (makna gandol) kitabnya.
“Loh, Pak …,” mendadak terdengar celetuk dari seorang murid, “kayaknya dari dulu qola artinya berkata, Pak, masak yang ini berangkat?”
Karena suara si murid ini lantang, murid yang lain, yang pada ngantuk, akhirnya kembali berbinar.
“Ooo … iya ya. Rupanya kalian sudah tahu … nah, sekarang sudah tidak ngantuk lagi kan?”
Anak-anak pun tertawa.
Pantang Pulang Sebelum Makan
Di sebagian besar kediaman pengasuh pondok pesantren di Madura, selalu tersedia makanan berat (nasi) untuk tamu, terutama bagi mereka yang datang rombongan untuk memondokkan santri baru. Ada tamu yang biasanya menolak dikasih makan dengan maksud tidak merepotkan. Ada pula rombongan dari daerah tertentu yang “pantang pulang sebelum makan”. Kiai sudah tahu terhadap kedua tipe tamu seperti ini.
Biasanya, tamu pengantar santri baru ini datang pada Ahad atau Rabu. Kebetulan, hari itu adalah Rabu, Ayah Zuhair membawa rombongan tetangganya yang mau mondok di tempat Zuhair menimba ilmu. Cara ini lazim agar si anak mudah kerasan kalau ada teman sekampungnya.
Lalu, ayah Zuhair mengajak Zuhair ikut serta. Kebetulan Zuhair sedang duduk bersama Ghaffar. Lantas Zuhair pun mengajak Ghaffar agar ikut sowan bareng dia dan orang tuanya.
Zuhair: “Far, ikut sowan yuk!”
Ghaffar: “Makasih, aku masih kenyang!”
Ilmunya Saja Dibagikan Cuma-Cuma, Apalagi Cuma Cumi-Cumi
Setiap pagi ada abang becak yang masuk ke pekarangan rumah kiai. Ia adalah tetangga yang dicarter tahunan untuk mengangkut peralatan dan jualan kiai ke warungnya yang terletak di dekat pondok setiap pagi dan sore. Sebetulnya bisa saja kiai beli becak untuk menghemat biaya produksi, tapi mungkin memang itu pilihan agar tetangga dekat kiai dapat pekerjaan mengantar panci-panci berisi di pagi hari dan menjemput panci-panci kosong di sore hari.
Di samping jualan nasi, kiai juga jualan es. Jelas ini sebagai tambahan pemasukan keluarga karena kiai itu tidak ada yang menggaji, hidup dari usaha sendiri tapi bertanggung jawab untuk mengurus keberlangsungan pendidikan, pondok, dan santri. Makanya, tidak ada yang memperebutkan pekerjaan kiai.
Es ini biasanya diangkut pagi-pagi, dibawa dalam sebuah kenjangan yang sangat besar. Saat melewati musala, tiba-tiba Wildan turun dari musala dan langsung mengambil sebuah es lilin dan mencucupnya.
Dua santri yang mengangkut es sontak marah. Wong mereka tiap hari angkut-angkut es pun tidak pernah selancang itu, lah kok ini santri baru sudah berani?
“Kembalikan! Itu haram. Kamu ambil es milik kiai tanpa bayar!”
“Ilmunya kiai itu diberikan cuma-cuma setiap hari secara gratis, apalagi cuma sebatang es,” jawab Wildan kalem.
Arti Puntak
Saat dulu di Madura tidak banyak orang mampu berbahasa Indonesia, Kiai Warits Ilyas sudah dikenal orang sebagai kamus berjalan. Kehebatan beliau juga masyhur di bidang logika, arudl-qawafi, dan balaghah.
Pada suatu hari datang seorang tamu yang membawa “masalah”. Si tamu mengajukan pertanyaan setelah ditanyai apa keperluannya. Ia mengaku tidak paham arti kata puntak.
Kiai Warits berkata bahwa beliau juga tidak tahu apa itu puntak. Lantas beliau balik bertanya dalam bahasa Madura, “Puntak? Apakah Anda tidak salah baca atau salah dengar?”
“Tidak, Kiai, memang begitu.”
“Bagaimana susunan kalimatnya?”
Si tamu tersenyum lebih dulu, malu-malu, setelah akhirnya menjawab, “Mohon maaf, Kiai. Saya temukan puntak ini dalam lagunya Rhoma Irama yang berjudul ‘Penasaran’. Begini: aku puntak/merasa heran/kalau dia/jadi rebutan ….”

strategi agar tidak disuruh mengerjakan soal di depan kelas

Strategi Agar Tidak Disuruh Mengerjakan Soal di Depan Kelas Kamu takut disuruh guru atau dosenmu maju ke depan kelas buat ngerjain s...