Minggu, 20 Mei 2018

strategi agar tidak disuruh mengerjakan soal di depan kelas

Strategi Agar Tidak Disuruh Mengerjakan Soal di Depan Kelas

Kamu takut disuruh guru atau dosenmu maju ke depan kelas buat ngerjain soal? Bahkan kamu  sering mengalaminya? Nah, buat kamu yang  sering disuruh guru atau dosen buat ngerjain soal di depan kelas kamu gak perlu takut kok. Ada strategi yang bisa kamu coba agar kamu gak disuruh guru atau dosen mengerjakan soal di depan kelas. Berikut strateginya:

1. Perhatikan saat guru atau dosenmu sedang menjelaskan
 
Waktu guru atau dosenmu sedang menjelaskan materi pembelajaran di kelas biasakan untuk selalu memerhatikan beliau. Jangan pada saat guru atau dosenmu sedang menjelaskan materi pembelajaran, kamu malahan asyik sendiri dengan ngobrol sama temen, melakukan gerak-gerik yang mencurigakan, dll. Fokus aja perhatiin guru atau dosenmu di kelas. Memerhatikan tidak hanya ke guru atau dosenmu saja tapi lebih ke materi pembelajarannya. Jangan terlalu memerhatikan gerak-gerik beliau. Ketika ada suatu yang kamu lakukan sampai ketahuan olehnya,  bersiaplah untuk disuruh mengerjakan soal di depan kelas. Disuruh guru atau dosen  mengerjakan soal di depan kelas itu menakutkan rasanya apalagi kalau guru atau dosennya itu tipe killer. Takut gak bisa jawab soalnya, kemudian malu sama temen-temen plus dikasih hukuman pula.

2. Rajin-rajin bertanya
 
Jadilah siswa atau mahasiswa yang aktif baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Tunjukan pada guru atau dosenmu kalau kamu siswa atau mahasiswa yang aktif dan rajin. Kamu bisa mengambil perhatian mereka dengan cara rajin-rajin bertanya pada saat jam pelajaran di kelas dan di luar jam pelajaran. Perbanyak dan rajin bertanya semakin bagus. Mereka akan merasa bosan dengan kamu yang nanya-nanya mulu. Semakin rajin kamu bertanya, mereka semakin menyadari kalau kamu belum paham sama apa yang mereka jelaskan di kelas. Lain halnya kalau kamu jarang bertanya. Jarang bertanya sama guru atau dosen malahan membuat mereka merasa bahwa kamu sudah benar-benar paham terhadap apa yang dijelaskan oleh mereka. Maka dari itu, untuk memastikan kepahaman kamu terhadap materi pembelajaran yang diajarkan, mereka menyuruh kamu untuk mengerjakan soal di depan kelas.

3. Jangan sok pinter, jangan sok bodoh juga
 
Ada 4 tipe siswa atau mahasiswa di dalam kelas yakni; ada yang sok pinter, ada yang sok bodoh, ada yang pinter beneran, dan ada yang bodoh beneran. Setiap proses belajar dan mengajar di kelas si guru atau si dosen bakal nanya ke siswa atau mahasiswanya. Ketika ternyata kamu yang ditanya oleh guru atau dosenmu terhadap sebuah pertanyaan, lebih baik jawab sepengetahuan kamu aja. Jangan jadi siswa atau mahasiswa yang sok pinter, jangan juga jadi siswa atau mahasiswa yang sok bodoh. Jadi siswa atau mahasiswa yah kalau udah pinter ya pinter aja jangan dibodoh bodohin, kalau bodoh yah bodoh aja jangan dipinter pinterin.
Baca juga: 7 Hal yang Paling Ditakutkan Ketika Sekolah

4. Pura-pura izin ke WC
 
Gak usah sok jadi siswa atau mahasiswa yang gak nakal. Sekali-kali kamu harus jadi siswa atau mahasiswa yang nakal. Buat berjaga-jaga biar kamu gak disuruh ngerjain soal di depan kelas, kamu bisa pura-pura izin ke WC. Padahal aslinya kamu gak WC tapi ke perpustakaan, ke kantin, dll. Jangan balik sebelum jam pelajaran selesai. Tapi jangan sampai ketahuan sama guru atau dosen lainnya.

5. Duduk diposisi yang gak mudah terlihat sama guru atau dosenmu
 
Atur posisi dudukmu di kelas. Sebisa mungkin duduklah di posisi paling belakang tengah atau paling belakang pojok. Dateng pagi-pagi kalau perlu biar gak berebutan sama temen sekelasmu. Pokoknya pilihlah posisi tempat duduk yang tidak mudah terlihat oleh guru atau dosenmu. Posisi duduk yang paling mudah terlihat ada di bagian depan dan tengah. Hindari duduk diposisi depan atau dekat meja guru atau dosen. Kamu akan lebih sering ditunjuk oleh guru atau dosen jika posisi dudukmu berada di depan atau dekat mereka.
Cari sekolah / perguruan tinggi terbaik di sekitarmu hanya di edumor.com!

6. Berlagak sok membaca buku atau menulis
 

Setelah itu kamu bisa berlagak sok membaca buku atau menulis. Siapkan buku pelajaran, buku catatan, dan alat tulis di mejamu. Selama proses belajar mengajarkan berlagaklah seperti sedang membaca buku pelajaranmu. Kemudian, coret-coret buku pelajaran atau buku tulis supaya terlihat bahwa kamu sedang mencatat materi pelajaran padahal gak nyatet sama sekali. Membaca buku pelajaran dan menulis merupakan sebuah bentuk perhatian kamu terhadap materi pembelajarannya. Dengan begitu, kamu seolah-olah sedang mengikuti proses belajar mengajar dengan baik.


87% Mahasiswa di Indonesia Salah Jurusan!
Pastikan kamu telah memilih program dan beasiswa yang tepat. akun kamu segera untuk mendapatkan rekomendasi lebih dari ribuan info jurusan dan beasiswa khusus untuk kamu!

makhluk misterius

Bayangan Makhluk Misterius di Kebun Kelapa

Ada satu kisah saat Pak Haji masih muda dulu. Saat itu beliau masih berpacaran dengan seorang gadis yang kini telah menjadi istrinya itu. Kala itu pacarnya tinggal di kampung sebelah yang jalan menuju ke sana dari kampung Pak Haji masih berupa jalan setapak dan melewati hutan. Karena selalu kangen, minimal dua kali seminggu Pak Haji bertamu. Biasanya naik sepeda, kadang jalan kaki melewati kebun kelapa.
Suatu hari pak Haji nge-date ke rumah pacarnya. Saking asyiknya bercerita, ia kebablasan hingga malam. Biasanya pulang sebelum senja, sekarang sekitar pukul sembilan malam baru jalan pulang. Walau sedikit takut, berani saja karena malam itu bulan agak sedikit terang, sedangkan lampu jalan sudah tentu masih barang asing.
Pak Haji mulai jalan. Sepanjang perjalanan aman-aman saja, bahkan ketika melewati hutan. Namun, ia terkejut bukan main ketika tiba di kebun kelapa di ujung kampung. Pak Haji melihat ada bayangan besar setinggi enam meter di pinggir jalan.
Celaka kita, Pak Haji membatin.
Tanpa tunggu lama, berbekal doa-doa yang dihafal, ia langsung komat-kamit dan meniup ke arah bayang-bayang itu. Tidak mempan. Ia lanjut baca mantra lain yang diarahkan ke sebuah batu, lalu melempar ke arah bayangan itu. Tidak mempan. Bergerak pun tidak. Ulang-ulang, segala doa pak Haji bacakan, tidak mempan juga.
“Astaga. Ini barang dia kuat sekali e. Sial, apa ini?” ucap pak Haji sambil balik arah.
Ia tidak berani melanjutkan perjalanan, tidak mau ambil risiko jika nanti harus gulat dengan suanggi sebesar itu. Pak Haji memutuskan untuk balik menginap di kampung sebelah dan besok pagi saja baru pulang.
Pagi sekali, matahari juga baru pecah, Pak Haji akhirnya jalan pulang bersama beberapa warga yang hendak ke kebun. Saat tiba di kebun kelapa, di lokasi ia melihat bayangan raksasa semalam, Pak haji pukul jidat sambil geleng-geleng.
“Cukimai lebebaek e!!! Sial dobel-dobel e!!! Beeeh, binatang!” makinya kesal.
Bagaimana tidak, bayangan raksasa yang dikira suanggi oleh Pak Haji tadi malam ternyata sebuah eksavator milik perusahan yang teparkir.
Suanggi Tiang Listrik
Kisah-kisah mengenai suanggi begitu ada banyak di Halmahera. Tidak semua seram, banyak juga kisah humor suanggi seperti berikut ini.
Suatu malam, ketika purnama begitu sempurna, ada tiga suanggi berkumpul untuk menjalankan ritual: mencari tumbal. Ritual itu kadang menjadi ajang adu saing antarmereka. Siapa yang mendapat tumbal paling banyak dalam waktu singkat, ialah pemenang dan ilmunya makin tinggi dan kuat.
Suanggi pertama langsung terbang menghilang mencari tumbal. Sepuluh menit berselang, ia kembali dengan mulut penuh darah.
“Weeeh, ngana luar biasa!” ucap suanggi kedua dan ketiga.
Tiba giliran suanggi kedua. Tanpa basa-basi ia langsung mengudara dan cuuuz … enam menit kemudian kembali dengan mulut merah penuh darah pula.
“Weeeh, ternyata ngana lebih cepat e,” ujar suanggi pertama salut.
“Hahaha, sekali terbang dua mangsa saya santap tadi,” ujar suanggi kedua.
“Mantap! Mantap!”
Suanggi ketiga tak mau kalah. Ia langsung tancap gas terbang tinggi dan menghilang. Baru berselang dua menit, suanggi ketiga kembali dengan mulut penuh darah kental.
“Ampuuun, ngana pe cepat!!!” kata suanggi pertama.
“Luar biasa! Ngana juara! Dapat berapa mangsa?” tanya suanggi kedua.
“Cukimai! Dapat mangsa apa. Kita (saya) tra (tidak) lihat tiang listrik di ujung kampong sana,” keluh suanggi ketiga sambil memegang bibir penuh darah. Giginya patah akibat menabrak tiang listrik desa yang baru ditanam.
Pergi Berobat
Lupakan suanggi, mari kembali ke Pak Haji. Akhir-akhir ini kesehatan Pak Haji kurang baik. Beliau batuk-batuk. Mungkin karena pengaruh usia yang sudah tua. Oleh anak-anaknya, diputuskan ia harus ke Ternate untuk periksa di rumah sakit ditemani anaknya, Jubaedah.
Tibalah Pak Haji di rumah sakit Ternate dan menemui dokter.
“Pak Haji, ini nanti harus di-rontgen dulu ya, biar kita bisa tahu penyakit dalamnya,” ucap dokter setelah memeriksa.
“Bapak Dokter, rontgen itu barang apa lagi e?”
Rontgen itu semacam foto biar bisa lihat itu dalam tubuh. Jadi Pak Haji harus difoto dulu.”
“Oooh, kalau begitu bagaimana kalau Bapak Dokter rontgen saya di taman saja e. Biar bagus. Kebetulan saya sudah lama tidak punya foto di taman.”
Bapak Dokter pukul jidat.
Beli KFC
Setelah memeriksakan diri di rumah sakit, pak Haji diajak anaknya keliling-keliling di mal. Karena lapar, anak bapak itu mampir ke gerai KFC untuk memesan makanan.
“Selamat sore. Mau pesan makan apa?”
“Oh ya, kami mau pesan ka ef si dua.”
“Ayamnya pakai dada atau paha ya?”
“Paha satu deng dada saja. Dibungkus ya.”
“Oh iya.”
“Eh, tapi tunggu, tunggu,” Pak Haji buru-buru menambahkan. “Bungkus nasi sama ayam dipisah ya. Takut nanti itu ayam de makan nasi kasih habis lagi.”
Kasir geleng-geleng kepala.
Rebonding
Mumpung sedang di kota, Jubaedah mampir ke salon untuk meluruskan rambutnya. Rambutnya yang agak keriting jadi lurus banget. Melihat itu, Pak Haji terheran-heran.
“Eh, Anak, ngana pe rambut bagaimana kong so lurus bagini?”
“Direbonding di salon toh, Papa.”
“Hah, rebonding itu binatang apa lagi gah?”
“Rebonding itu artinya meluruskan. Jadi pakai alat yang mirip gata-gata (penjepit makanan) begitu.”
“Oooh, bagitu.”
Saat kembali ke kampung, Pak Haji langsung memimpin Salat Magrib karena dia imam desa. Setelah ikamah selesai, beliau langsung maju di tempat imam dan berujar.
“Ayoo, jamaah, rebondingkan saf!!!”
Jamaah samua baku haga heran.

rumah makan padang

Maafkan Saya, Tatang, Maafkan saya, Rumah Makan Padang

Mengalahkan Pesaing
Sewaktu masih kuliah saya pernah punya gebetan, sebut saja si Doi. Ia datang dari Priangan timur, kuliah di Bandung untuk menggapai masa depan, tinggal di rumah bibinya di daerah Buah Batu. Orangnya lucu dan suka bergaul sehingga Si Doi juga banyak diminati teman yang lain. Pokoknya persaingan amat ketat untuk pedekate dengan dia. Dalam situasi tersebut, saya harus punya strategi yang bagus.
Di suatu Sabtu sore yang berangin, saya coba-coba main ke rumahnya dengan alasan yang amat jadul kalau didengar hari ini, tapi sangat ampuh di zaman itu, yakni pinjam catatan kuliah. Ini memang modus operandi pemuda era ’90-an.
“Iyah, ka bumi weh, aya Tatang kok,” ujar Doi waktu ditelepon dari telepon umum ke nomor rumahnya. Dia bilang, silakan datang ke rumah, kebetulan Tatang juga sedang ada di rumahnya.
Siapa Tatang? Pertama, Tatang adalah nama yang disamarkan, begitu pun nama tempat dan konteksnya yang pada beberapa bagian didramatisir dengan hiperbola. Tatang disamarkan untuk menjaga integritasnya. Tatang itu teman satu angkatan di fakultas tapi lain jurusan, yang telah coba-coba mencuri start, datang lebih dulu ke rumah Doi.
Dagdigdug hati saya tak keruan mendengar kabar dari telepon tersebut. Tak enak buat bilang tidak jadi ke rumahnya, tapi saya pun okein untuk datang meski agak ragu. Jangan-jangan Tatang adalah pacarnya? Jangan-jangan baru pendekatan juga seperti saya? Daripada penasaran, saya pergi juga ke rumah Doi.
Singkat cerita saya naik motor, dari Gatsu ambil arah timur, lalu belok ke kanan di Jalan Turangga, potong Jalan Karawitan menuju Buah Batu, lalu akhirnya tiba di depan pintu rumahnya. Aha! Tampak terlihat di atas keset depan pintu ada sepasang sepatu (satu kanan, satu kiri): pasti itu sepatu Tatang! Sepatu milik pesaing!
Refleks saja sebelum mengetuk pintu saya ambil sepatu itu yang sebelah (sepatu kirinya), lalu saya lempar ke genteng rumah tetangga. Sehabis itu saya baru mengetuk pintu.
“Eh, sudah dateng. Masuk, tuh ada Tatang. Mau minum teh atau kopi?” sambut Doi.
“Kopi,” kata saya sambil duduk di ruang tamu. Ada Tatang di sana. Tatang mesem-mesem ketangkap basah. Suasana jadi kaku. Tatang serbasalah, saya pun juga. Sama-sama tepergok malam mingguan ke cewek yang sama. Apa dengan adanya henpon sekarang, ngapel berjamaah nggak disengaja model begini masih terjadi?
“Ditinggal ke dapur dulu yah, mau buat minum kopi.”
Kami berdua ditinggal di ruang tamu. Pada saat yang bersamaan mengalun suara mini compo di dapur; itu lagu Nicky Astria yang bernyanyi “Jarum Neraka”. Mumpung cuma berdua, saya ngomong pelan ke Tatang.
“Maneh aya perlu naon kadieu, Tang?” Pelan tapi tegas, seolah-olah ngajak konflik. Saya sedang tanya, apa tujuan Tatang ke rumah ini.
“Henteu, mampir hungkul, tadi kabeneran keur ka imah babaturan SMA, eh gening tatangga.” Tatang bilang ia kebetulan saja mampir karena waktu main ke rumah teman SMA-nya, ternyata deketan dengan rumah si doi (ah, modus, ujar saya dalam hati).
“Oh, sugan teh apel.” Kirain ngapel. Itu kata saya.
“Ah, heunteu, Bro, rek balik ieu oge.” Tatang bilang dia tidak sedang apel, hanya mampir, sebentar lagi dia janji akan pulang.
Akhirnya Doi bergabung lagi di ruang tamu. Ia datang bawa kopi di atas nampan, ada pisang gorengnya juga, ada satu gelas kopi buat saya, satu air putih buatnya, dan satu gelas kopi lagi buat Tatang.
“Mangga disambil!”
“Wah, ngerepotin,” ujar Tatang basa-basi. Saya mah anti-basa-basi, langsung bertindak seruput kopi, ambil pisang gorengnya, lalu dimakan, lalu kemudian nyeruput kopi lagi biar nggak seret di tenggorokan.
Tatang terlihat gelisah salah tingkah, tidak ambil pisang goreng, kopinya pun diminum sedikit. Tak lama Tatang pamit untuk duluan pulang, katanya ada keperluan penting yang mendadak. Si Doi keheranan.
“Eh, mau ke mana atuh, udah, santai aja di sini dulu. Ngobrol,” Doi mencegah.
“Ah, nggak. Urgent pisan euy. Nuhun.” Tatang lalu beranjak dari ruang tamu menuju pintu keluar untuk pulang. Saya duduk di ruang tamu menanti ketegangan karena akan terjadi sebuah kejadian (eng … ing … eng).
Tiba-tiba Tatang yang barusan sudah pamit mau pulang datang lagi ke ruang tamu.
“Eh, aya naon, Tang? Ada yang ketinggalan?” tanya Doi.
“Nggak, aduh, gimana yah?” Tatang seperti kebingungan.
“Kenapa emang, Tang?”
“Inih euy, sepatu, sepatu saya ilang satu,” kata Tatang sambil garuk kepala.
“Ah, masak ilang satu, mungkin pas ke sini memang pake sepatunya sebelah?” kata saya becandain. Tatang terlihat tak suka, buang muka dan langsung ketus menjawab, “Wah, nggak mungkinlah, masak dari rumah pake sepatu sebelah.”
“Cari lagi atuh, siapa tahu sepatunya ketendang, terus ada di tempat lain. Cari lagi atuh.” Itu si Doi menyarankan.
Tatang bergegas lagi ke teras diikuti Doi sebagai tuan rumah. Saya di mana? Di ruang tamu, senyum-senyum sendiri.
“Nggak ada euy, asli, nggak ada. Aya nu maok gitu?” Tatang menduga sepatu kirinya ada yang maling.
“Wah, teu mungkin atuh, kalo maling mah nggak mungkin ngambil sebelah aja. Dua-duanya atuh,” kata Doi.
“Iya, yah.” Tatang pasrah.
Di akhir kisah, Tatang yang datang bersepatu lengkap sekarang mesti menerima kenyataan pahit, sepatunya hilang sebelah dan ia pulangnya minjam sandal milik pembantu rumah Doi, swalow kekecilan warna kuning. Tatang kemudian meminta sepatu sebelahnya lagi, yang tidak hilang, ditinggal di rumah Si Doi.
“Eh, Tang, bawa aja juga sepatu sebelahnya, buat apa juga ditinggal di rumah?”
“Titip sini ajalah, malu bawanya.”
“Udah, bawa aja, buat kenang-kenangan,” kata saya ikut-ikutan.
“Aduh, euy,” keluh Tatang sambil melirik penuh curiga kepada saya.
Akhirnya Tatang benar-benar pulang, naik Honda Astrea Star, pakai sandal pinjaman pembantu sambil membawa kenangan buruk: sepatunya yang kanan saja, yang tidak hilang malam itu. Kasihan Tatang, musnah sudah semua pendekatannya oleh kejadian memilukan ini. Saya yakin ini kunjungan Tatang yang terakhir ke rumah si Doi
Tinggal saya dan Si Doi di ruang tamu.
“Kamu yah?” Si Doi curiga kepada saya, tidak saya jawab tentu saja. Biarlah sejarah ini tetap menjadi misteri.
“Kamu kan pelakunya?”
Saya tetap bungkam. Dalam hati saya hanya berkata, Oh, Tatang, maapkan saya telah keterlaluan.

Lupa demi Gengsi
Yang ini cerita lagi bersama si Doi juga. Tapi, konteksnya setelah kejadian dengan Tatang. Alkisah, sepulang kuliah dia ngajak saya makan siang di sebuah rumah makan Padang. Rumah makan ini memang favorit mahasiswa. Menunya lumayan, nggak mahal dan nggak murah, lokasinya di sekitar simpang Dago wilayah Bandung Utara. Kami boncengan motor Vespa, saya di depan, si doi diboncengan.
Singkat cerita, kami pun makan dan minum. Setelah selesai si Doi bilang begini, “Bayarin yah, lagi nggak punya uang.”
Saya terkejut, tapi tak diperlihatkan, karena uang saya juga tak cukup untuk bayar berdua. Saya telah salah sangka, saya pikir Doi yang akan traktir karena dia yang mengajak makan ke saya. Ternyata dia juga tidak punya uang.
Pada saat seperti itu, apalagi masa pedekate ke gebetan, gengsi harus dikedepankan.
“Siap, no problem. Kamu duluan aja ke parkiran, biar Aa yang bayar ke kasir.” Jawaban gengsi.
Aturan adat di rumah makan itu memang mengatur bahwa pelanggan silakan makan duluan, baru setelah kelar wajib lapor ke kasir, apa yang dimakan dan apa yang diminum. Untung sekali, di rumah makan itu struktur ruangnya kondusif. Ada dua pintu; satu pintu untuk masuk pelanggan yang akan makan, satu pintu lagi adalah pintu keluar. Meja kasirnya terletak di dekat pintu keluar.
Si Doi sudah keluar duluan dengan tenang lewat pintu masuk pelanggan. Sikapnya tenang karena tahu saya akan membereskan pembayaran. Ia duluan menunggu di parkiran motor. Saya tetap di meja makan menunggu beberapa saat hingga dia benar-benar keluar.
Setelah agak lima menitan, saya pun beranjak dari meja makan, keluar. Lewatnya? Juga dari pintu masuk pelanggan, tak melewati meja kasir. Pada saat itu suasana rumah makan memang sedang kondusif, ramai oleh pelanggan. Petugas kasir terlihat sibuk tak sempat memperhatikan orang-orang yang makan dan yang keluar. Saya lolos melenggang menuju parkiran.
“Udah dibayar?” kata Doi saat berjumpa di parkiran motor. Saya tak mengangguk, tak menggeleng, dan tak menjawab.
“Udah belum dibayar?” Ia tanya ulang saat di bocengan menuju pulang. Selama di vespa itu si Doi perhatian sekali, perhatian menanyakan terus apa saya sudah bayar.
Saya jawab akhirnya sambil ngegas Vespa di jalanan Dipati Ukur. “Lupa euy, udah bayar apa belum yah? Asli lupa.”
“Masak nggak inget? Curiga ah.”
Karena nggak dijawab dengan pasti juga, sepanjang jalan pertanyaan itu diulang terus. Saya cekikikan sambil melaju, dan tetap saya tak bilang jujur kepadanya. Biarlah ini menjadi misteri kedua yang saya simpan darinya.
Apa yang terjadi setelahnya? Saya tidak berhasil melanjutkan hubungan lebih serius dengan si Doi. Mungkin karena dapat karma dari Tatang, mungkin juga memang bukan jodoh. Jodoh saya mah kemudian adalah si Manis Manja yang sekarang jadi istri saya, yang pendekatannya berlangsung dramatis dan layak disimak karena mengandung kearifan lokal, tapi sayang kisah dengannya bukan untuk konsumsi publik. Atas nama cinta, saya tutup cerita ini. Demikianlah

ikan lele ulang tahun

Ikan Lele Ulang Tahun

Saya lupa kapan pastinya kenal dengan cerita-cerita mop. Yang jelas, saya punya banyak orang dekat yang jago cerita mop, dari kawan di kampus, organisasi, kawan sewaktu di penjara, hingga anggota keluarga sa sendiri. Di keluarga, adik laki-laki saya jagoannya: namanya Akbar, masih kelas dua SMP serta terkenal paling banyak mulut dan kapala angin (pengacau).
Pernah suatu ketika saat saya baru selesai makan dan sedang duduk santai memegang tusuk gigi, tiba-tiba ia datang merampas tusuk gigi tersebut.
“Eee Adlun e, hati-hati. Supaya ngana tahu e, barang kecil-kecil begini ini bahaya sekali,” katanya sambil mengacungkan tusuk gigi yang dirampas.
“Heh, bahaya dape apa?” Saya mengerutkan alis.
“Ah, coba ngana bayangkan. Pas pilot ada bawa pesawat, terus kita ambil ini tusuk gigi lalu kita tusuk itu pilot pe mata. Ngana pikir itu tara bahaya?”
Binatang. Sontak saya pun loncat ingin menjitak kepalanya.
Nah, dari dia pula banyak koleksi mop yang saya dapat untuk ditulis. Mop tidak hanya diambil dari kisah manusia semata, ada pula tentang binatang. Jika fabel menyajikan cerita-cerita mengandung pesan moral, lain halnya dengan mop binatang yang lebih banyak menyajikan kisah absurd nan jenaka.
Sebenarnya mop itu lebih kena kalau cerita langsung. Susahnya kalau dituliskan ya itu, malah jadi garing. Di bawah ini sa coba membagikan beberapa cerita binatang yang berhasil saya himpun. Salah duanya (pertama dan terakhir) dituturkan oleh Akbar. Selamat menyimak.
Istri Ular
Alkisah seekor ular pergi ke dokter hendak memeriksakan matanya.
“Dokter, penglihatan saya ini sudah lama terganggu.”
“Ayo, kita periksa dulu.”
Beberapa saat kemudian keluar hasilnya. “Ngana pe mata ini sudah minus. Jadi ini saya kasih kacamata untuk membantu.”
“Wah, terima kasih, Dokter,” kata si ular sambil memakai kacamatanya. Jangan tanya macam apa dia pakai itu kacamata.
Sang ular pun berjalan pulang dengan riang karena penglihatannya kembali cerah.
Namun, seminggu kemudian sang ular kembali menemui dokter dengan wajah yang murung. Melihat itu dokter lalu bertanya.
“Eh, Ular, kenapa ngana murung bagini?”
Sang ular hanya terdiam.
“Kacamata yang saya kasih itu kan so bagus, kurang puaskah?” tanya dokter ulang.
“Bukan itu, Dokter. Setelah pakai kacamata itu saya baru sadar selama ini saya kawin deng selang air.”
Ulang Tahun Ikan Lele
Suatu hari seekor ikan lele sedang berulang tahun. Ia berencana mengadakan pesta joget dengan megundang seluruh ikan yang ada. Undangan tersebar. Malam nanti pesta diadakan. Namun, ada segerombolan ikan teri yang tidak senang dengan pesta tersebut, sebab mereka tidak kebagian undangan.
“Cukimai nih ikan lele itu e, undang semua ikan, tapi tra undang kitorang e,” keluh seekor teri.
“Iyo tuh. Pokoknya nanti pas pesta mulai, kita kasih keosss.”
“Ide bagus itu, tapi kitorang tongka deng sopi dulu.”
“Weeeh, cocok!!!”
Gerombolan teri itu lalu berkumpul di sebuah pangkalan semacam markas untuk konsolidasi. Dua gelon sopi dihidangkan. Saat sedang meneguk sopi, tiba-tiba seekor hiu datang dengan wajah murung.
“Wahai, Hiu, bikapa ngana bikin muka sedih begitu?” tanya seekor teri.
“Ah kecewa, ikan lele tra undang kita di acara ulang tahun.”
“Passs, sama, kitorang juga begitu.”
“Jadi mari gabung sini sudah, torang minum sopi. Nanti baru torang kasih kaco itu acara,” ujar teri lainnya.
Si hiu pun akhirnya ikut ikan teri. Singkat cerita, setelah menghabiskan dua gelon sopi, gerombolan teri dipimpin si hiu itu menuju lokasi acara. Rata-rata mereka setengah mabuk. Saat tiba di lokasi dan hendak masuk ke acara, mereka diadang oleh seekor buaya yang terkenal paling ganas.
“Woeee, mau ke mana ngoni (kalian)?” tanya si buaya dengan suara keras kepada si hiu sebagai pemimpin barisan. Dengan wajah menunduk, si hiu menjawab, “Eh, Kaka, tidak, saya lagi bawa anak-anak ini pergi les di depan situ, cuma kebutulan lewat sini saja.”
Di belakang, pasukan hilang kayak kilat.
Kuda Bendi
Di Ternate dulu, sebelum ada mobil, kuda bendi menjadi alat transportasi andalan masyarakat. Alkisah pada satu hari ada sebuah bendi melintas di kawasan pertokoan Pasar Gamalama.
“Bendi! Bendi!” panggil seorang ibu
“Bagaimana, Ibu? Mau ke mana?” tanya om kusir
“Antar saya ke utara. Tapi, saya muat semen sepuluh sak, boleh?”
“Boleh sekali, Ibu.”
Mendengar jawaban om kusir, si kuda kaget bukan main lalu berbalik menatap tuannya dan berujar, “E setan, ngana ganti di depan sini. Ngana kira semen tra berat?”
Akhirnya disepakati mereka akan membawa lima sak semen sajam, lalu diantarlah si ibu ke tempat tujuan. Namun, dalam perjalanan terjadi sebuah insiden. Si kuda hampir menginjak seekor kucing yang menyeberang.
“Astagfirullah. E ngana ini jalan bae-bae sedikitkah. Mentang-mentang kita ini binatang kecil lalu ngana mau main injak begitu,” cecar si kucing yang naik pitam
Si kuda kaget bukan main dan berkata, “Weh, kita heran sekali eh, ternyata binatang juga bisa bicara e,” jara si kuda sambil menatap wajah kucing lalu berbalik menatap om kusir dengan terheran-heran.
“Iyooo, apalagi kita lebih heran lagi,” ucap om kusir.
Ayam dan Kucing
Entah sejak kapan dua binatang ini bermusuhan. Kadang cekcok, saling ejek, bahkan berujung pada perkelahian.
Suatu siang, matahari begitu panas, seekor ayam hendak menyeberang melintasi jalan aspal. Di seberang si kucing lagi duduk santai di rerumputan. Melihat ayam lewat, si kucing mulai mengejek.
“Ceh, binatang model ngana ini e, matahari panas-panas pakai baju bulu tebal, tapi tra pakai sendal. So begitu bajalan di atas aspal lagi. Ceiii.”
Mendengar ejekan kucing si ayam naik pitam.
“Eh, cukimai, daripada ngana, pakai baju lengan panjang, celana panjang, tapi biji-biji gantong di luar, gaya model apa itu!?!” teriak ayam.
Kucing langsung mati gaya.

gajah tidak bisa terbang?

Mengapa Gajah Tidak Bisa Terbang?

Perahu Karam
Pagi itu Markus dan Bapa Yos, ayahnya, pulang melaut dengan wajah gusar. Semalam ombak dan angin lebih ganas dari malam-malam sebelumnya, jadi Markus dan Bapa Yos mati-matian cegah perahu supaya tidak karam.
Tapi, takdir berkata lain. Mama Yos dan beberapa nelayan buru-buru membantu Markus dan ayahnya menarik perahu mereka yang hampir terbelah jadi dua. Begitu sampai di daratan, Mama Yos segera menghampiri.
“Anak, Pace, kamorang tra papa to?” Mama Yos khawatir. Bapa Yos cuma angguk-angguk kepala. Nelayan lain yang juga tetangga rumah mereka, Matius, menimpali, “Kenapa kamorang pu kapal bisa terbelah begitu?”
Mendengar itu Markus menjawab, “Pace, ko ada lihat karang yang di sanakah?” Pace Matius mengikuti arah yang ditunjuk Markus lalu mengangguk.
“Iyo, kenapa?”
“Nah, itu sudah. Tadi malam sa den Bapa tra ada lihat itu.”

Biar Tambah Semangat
Suatu hari guru-guru di sekolah Markus mengadakan sweeping alias memeriksa isi tas murid untuk mencari benda-benda yang seharusnya tidak dibawa ke sekolah. Sialnya, pagi itu Markus kedapatan membawa DVD porno dalam tasnya. Karena termasuk pelanggaran berat, Markus dipanggil kepala sekolah.
“Markus, ko tahu ka tidak ini barang apa?” Kepsek tanya sambil tunjuk DVD di atas meja.
“Iyo, Bapa, sa tau,” jawab Markus dengan muka pucat.
“Itu ko tahu kalau ini film dewasa, baru kenapa ko masih bawa ini ke sekolah?” Kepsek kembali menginterogasi.
“Begini, Bapa, sa bawa itu untuk ajak nonton teman-teman yang malas belajar. Biar dong lebih semangat.”
“Ko gila kah?!” Kepsek menggebrak meja dengan geram. Buru-buru Markus menambahkan, “Karena sa pu bapa pernah bilang ke sa pu mama begini: ‘Ma, co ko nonton ini film, biar ko tambah semangat,’ begitu …,” ujar Markus ketakutan. Mendengar itu Kepsek langsung gelagapan.

Mengapa Gajah Tak Bisa Terbang
Tadi di sekolah Bapa Guru menjelaskan kenapa burung bisa terbang. Katanya, itu karena dia punya pundi-pundi udara. Sampai di rumah Markus tanya ke Mama Yos.
“Ma, kenapa burung de bisa terbang, tapi gajah tra bisa?”
Mendengar pertanyaan itu Mama Yos ajak Markus keluar rumah. Dia kasih lihat beberapa burung merpati yang hinggap di atap seng rumah mereka.
“Ko ada lihat itu merpati hinggap di atap to?”
“Iyo, terus?”
“Anak kepala bodok ni!” Mama Yos menggeplak kepala Markus, kemudian melanjutkan, “Sekarang co ko bayangkan kalau gajah yang hinggap. Setiap hari kita pu atap bolong-bolong to!?”

Sa Masih Sekolah
Namanya juga anak muda, sedang dalam masa pubertas, Markus sudah tentu punya gadis pujaan. Sore itu ketika Markus dan Yakleb, teman karibnya, mau memancing di dermaga, dilihatnya Siska pujaan hatinya sedang duduk baca buku di bawah pohon kersen.
“Adooohhh, Yakleb, Siska de pu cantik apa yooo ….” Markus berhenti berjalan, mengagumi kecantikan Siska yang saat itu pakai jins selutut dan kaus hitam bertuliskan “I Love Papua”. Rambut Siska yang ikal panjang tertiup angin sepoi-sepoi.
“Begini, Kawan. Kalo ko memang suka sama Ade Siska, le baek ko bicara sekarang. Daripada besok de su dengan laki-laki lain, ko menyesal to?” Sebagai teman yang baik Yakleb memberi saran sambil merangkul pundak Markus.
Dalam hati Markus mengiyakan saran Yakleb. Siska memang cukup populer di daerah tempat tinggalnya. Markus juga tahu beberapa temannya ada yang naksir ade manis berkulit gelap itu.
Setelah kumpulkan keberanian Markus jalan menghampiri Siska. Detik itu juga dia mau katakan cinta.
“Halo, Kaka Markus, mo pi ke mana kah?” Siska menyapa ramah.
“Ah, sa mo pi memancing saja. Begini, Ade Siska …,” Markus memulai. Mengetahui Markus mau mengatakan sesuatu yang penting, Siska menyimak dengan baik.
“Kaka su lama suka sama ade. Ade mau jadi kaka pu pacar kah?” tanya Markus penuh harap.
“Adoh … Kaka, terima kasih eee. Tapi, maaf, sa tra bisa. Sa masih sekolah, jadi,” jawab Siska tanpa pikir dua kali. Mendengar itu buru-buru Markus menimpali,
“Oooh … tra papa, Adik. Kaka kira ko pu sekolah su libur.”

Nama Kucing
Markus kedatangan sepupu dari Ambon, namanya Frans. Di rumah Frans lihat Markus pelihara kucing ras warna putih yang cantik sekali. Sebagai pencinta hewan berbulu, sudah barang tentu Frans gemas melihat kucing Markus.
“Markus, ale pung kucing bagus eee … akang pung nama sapa la?” Sambil mengelus-elus sang kucing Frans menanyakan nama si kucing.
Markus yang sedang baring-baring nonton TV menjawab, “De pu nama Primadona Utamiria Setyaningrum Saraswati.”
“Tuangala eee … kucing pung nama panjang lawang. Tarus ale panggil akang sapa la?”
“Singkat saja, panggil PUSS to? Mo apa lagi?” jawab Markus sambil garuk-garuk pantat.

pencuri mangga

Pencuri Mangga Lebih Galak daripada Pemilik Mangga

Curi Mangga 1
Sore itu Ungke dan kawannya mau sekali makan mangga. Itu karena tadi siang sepulang sekolah mereka melihat mangga Pak Haji yang segar-segar. Tapi, rasa-rasanya untuk meminta langsung itu tidak mungkin. Pak Haji dikenal sebagai orang yang sangat kikir.
Maka tidak ada cara selain mencuri, Ungke serta kawannya bersepakat. Pohon mangga tepat berada di samping rumah Pak Haji. Strategi mulai disusun. Ungke bertugas sebagai juru panjat, sedangkan kawannya siaga di bawah pohon. Setelah merasa situasi cukup aman, aksi dimulai.
“Ungke … ko ambe yang di bawah-bawah saja.”
“Jang ribut … mo dapa dengar, Pak Haji?”
Ungke melempar mangga ke bawah. Kawannya bersiap menangkap. Sudah lima buah yang lolos diamankan. Sialnya, mangga keenam luput dari genggaman Ungke. Jatuh tepat di atap rumah Pak Haji. Beliau langsung bergegas keluar. Ungke juga meluncur laju ke tanah.
“Woooi! Kudacuki! Papancuri!” Pak Haji memergoki Ungke dan kawannya. Namun, mereka sudah berlarian terbirit-terbirit. Pak Haji meluapkan emosinya dengan berteriak.
“Anak babi! Kiapa sa pe mangga yang ko orang panjaaattt?!!”
Ungke yang mendengar teriakan itu dari kejauhan lantas menyahut.
“Bemana, Pak Haji tra ada ba kase siap tangga! Makanya tong panjaaattt!”

Curi Mangga 2
Semenjak kejadian pencurian Ungke, Pak Haji mulai bikin penjagaan ketat. Hampir tiap hari dia duduk di muka rumah. Entah sambil baca koran, minum kopi, bahkan makan di situ untuk memastikan agar tidak ada pencuri sekaligus memberikan pesan tersirat kepada Ungke dan siapa pun yang berniat mencuri untuk sebaiknya membatalkan niat.
Setiba waktu salat Asar barulah Pak Haji luput menjaga. Dan kebetulan papanya Ungke lagi lewat di depan rumah Pak Haji. Melihat buah mangga yang segar, dia akhirnya ingin makan mangga. Merasa Pak Haji tidak sedang mengawasi, tanpa pikir lama Papa Ungke langsung memanjat.
Belum sempat mengambil satu pun buah mangga suara Pak Haji sudah terdengar.
“Woooi! Cukimai! Pancuri! Turuuun!” teriak Pak Haji dari bawah.
Mendengar itu Papa Ungke kaget bukan main. Dia bergegas turun ke bawah. Ssseeet, Papa Ungke tepat meluncur di bawah. Belum sempat Pak Haji memarahi, paaak, Papa Ungke keduluan menampar Pak Haji.
“Ko bateriak kaya apa saja! Ko kira kalo sa jatuh, ko mo tanggungkah?”
Pak Haji membisu, Papa Ungke berlalu.

Curi Mangga 3
Ternyata bukan cuma Ungke yang ingin mencuri mangga Pak Haji. Angki, anak Pak RT yang juga kawan Ungke, punya hasrat yang sama. Sebab, tidak ada lagi mangga di kampung itu selain milik Pak Haji. Jadi, jika ingin menikmati segarnya buah mangga, mengingat Pak haji yang begitu kikir, tidak ada jalan lain selain mencuri.
Ketika melancarkan aksinya, keberuntungan belum memihak kepada Angki. Dia terpergok Pak Haji.
“Turun! Turun!” bentak Pak Haji.
Angki tidak bisa lagi ke mana-kemana. Dia berada dalam kendali Pak Haji.
“Memang ko orang ini, cuma tahu mencuri. Begitu ko diajar papamu? Ikut saya, biar papamu yang goso kau, anak tidak tahu diajar!” Pak Haji emosi betul. Namun, sebelum Pak Haji bergegas, Angki angkat bicara sambil melihat ke atas pohon.
“Papa, turun sudah, Om Haji dong so dapat kita ini!”
Pak Haji mematung.

Duit Hilang
Pagi itu sewaktu Ungke akan berangkat sekolah, dia kaget karena uang yang disimpan dalam saku celananya hilang. Jumlahnya lima ribu. Maka, datanglah Ungke mengeluh di hadapan mamanya. Kebetulan pagi itu Papa Ungke juga lagi membersamai Mama Ungke.
“Sa pe uang ada hilang. Mama tra ada liat kah?” Ungke memasang wajah sedih.
“Di mana ko simpan?”
“Ini, di kantong celana, Mama. Tapi so tra ada sudah.”
“Coba ko ingat lagi, barang ko simpan tampa lain, jadi. Ada berapa yang hilang?”
“Seratus ribu, Mama” Ungke menjawab spontan.
Papa Ungke yang sedari tadi cuma diam buru-buru bersuara.
”Cukimai, ngana, Ungke. Uang cuma lima ribu itu. Papa ada pinjam tadi belikan rokok.”
Ungke tertawa sejadi-jadinya.

santri sowan

Santri Sowan Kiai: Pantang Pulang Sebelum Makan

Hafal Kitab
Wajarlah kalau santrinya bisa hafal Alfiyah karena kiainya hafal Alfiyah dan juga Fathul Qarib.
Pada suatu hari menyampaikan keberatannya saat melihat kondisi santri yang semakin jauh dari dunia perkitaban. “Orang sekarang itu sudah kurang minat mempelajari kitab,” keluhnya, “beda dengan santri-santri dulu.”
“Iya, sekarang memang begitu,” jawab Kiai Mahfudh.
“Bahkan, ada santri yang terhadap nama mushannif (pengarang) kitabnya saja tidak tahu,” imbuh Kiai Ishom, “parah, bukan?”
“Namun, kita juga harus bersyukur,” timpal Kiai Mahfudh berusaha menghibur, “masih ada di antara kita yang bukan saja hafal judul kitab dan nama pengarangnya, sama harga kitabnya pun beliau hafal, suatu hal yang di zaman dulu tidak ada seorang pun yang mampu seperti itu!”
“Wah, masak?”
“Iya, itu lho Kiai Muqsith,” balas Kiai Mahfudh sambil melirik Kiai Muqsith. Kiai yang dilirik ini memang pengasuh pondok yang juga punya toko kitab
Cara Melawan Ngantuk
Salah satu guru kami di madrasah tsanawiyah dulu bernama Pak Miskala. Beliau adalah tipe guru yang mudah akrab dengan siswa, meskipun bukan berarti gampang roco dengannya. Santai dan berseling humor di kala mengajar merupakan nilai lebih yang dimilikinya sehingga murid-murid menyukainya.
Pelajaran yang diampu beliau adalah Kaidah Fiqhiyah. Kitab pegangannya adalah Faraidul Bahiyyah fi Qawaidil Fiqhiyyah. Kitab ini berisi kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan pengambilan hukum fikih. Bagi kami di kala itu, dan apalagi sekarang, materi tersebut tergolong agak berat. Butuh logika dan silogisme untuk menerapkan contoh kasusnya.
Di kelas kami, kelas III-A Madrasah Tsanawiyah Annuqayah, Gulu-Guluk, Sumenep, jatah waktu pelajaran ini ada pada jam terakhir, jam capek dan jam mengantuk. Sering dijumpai murid yang tertidur dengan kepala tertunduk di atas kitab. Situasi ini dimanfaatkan Pak Miskala untuk menggoda-goda.
Wa qola … dan berangkatlah …,” terdengar suara Pak Miskala memberi makna, diikuti para murid memaknai (makna gandol) kitabnya.
“Loh, Pak …,” mendadak terdengar celetuk dari seorang murid, “kayaknya dari dulu qola artinya berkata, Pak, masak yang ini berangkat?”
Karena suara si murid ini lantang, murid yang lain, yang pada ngantuk, akhirnya kembali berbinar.
“Ooo … iya ya. Rupanya kalian sudah tahu … nah, sekarang sudah tidak ngantuk lagi kan?”
Anak-anak pun tertawa.
Pantang Pulang Sebelum Makan
Di sebagian besar kediaman pengasuh pondok pesantren di Madura, selalu tersedia makanan berat (nasi) untuk tamu, terutama bagi mereka yang datang rombongan untuk memondokkan santri baru. Ada tamu yang biasanya menolak dikasih makan dengan maksud tidak merepotkan. Ada pula rombongan dari daerah tertentu yang “pantang pulang sebelum makan”. Kiai sudah tahu terhadap kedua tipe tamu seperti ini.
Biasanya, tamu pengantar santri baru ini datang pada Ahad atau Rabu. Kebetulan, hari itu adalah Rabu, Ayah Zuhair membawa rombongan tetangganya yang mau mondok di tempat Zuhair menimba ilmu. Cara ini lazim agar si anak mudah kerasan kalau ada teman sekampungnya.
Lalu, ayah Zuhair mengajak Zuhair ikut serta. Kebetulan Zuhair sedang duduk bersama Ghaffar. Lantas Zuhair pun mengajak Ghaffar agar ikut sowan bareng dia dan orang tuanya.
Zuhair: “Far, ikut sowan yuk!”
Ghaffar: “Makasih, aku masih kenyang!”
Ilmunya Saja Dibagikan Cuma-Cuma, Apalagi Cuma Cumi-Cumi
Setiap pagi ada abang becak yang masuk ke pekarangan rumah kiai. Ia adalah tetangga yang dicarter tahunan untuk mengangkut peralatan dan jualan kiai ke warungnya yang terletak di dekat pondok setiap pagi dan sore. Sebetulnya bisa saja kiai beli becak untuk menghemat biaya produksi, tapi mungkin memang itu pilihan agar tetangga dekat kiai dapat pekerjaan mengantar panci-panci berisi di pagi hari dan menjemput panci-panci kosong di sore hari.
Di samping jualan nasi, kiai juga jualan es. Jelas ini sebagai tambahan pemasukan keluarga karena kiai itu tidak ada yang menggaji, hidup dari usaha sendiri tapi bertanggung jawab untuk mengurus keberlangsungan pendidikan, pondok, dan santri. Makanya, tidak ada yang memperebutkan pekerjaan kiai.
Es ini biasanya diangkut pagi-pagi, dibawa dalam sebuah kenjangan yang sangat besar. Saat melewati musala, tiba-tiba Wildan turun dari musala dan langsung mengambil sebuah es lilin dan mencucupnya.
Dua santri yang mengangkut es sontak marah. Wong mereka tiap hari angkut-angkut es pun tidak pernah selancang itu, lah kok ini santri baru sudah berani?
“Kembalikan! Itu haram. Kamu ambil es milik kiai tanpa bayar!”
“Ilmunya kiai itu diberikan cuma-cuma setiap hari secara gratis, apalagi cuma sebatang es,” jawab Wildan kalem.
Arti Puntak
Saat dulu di Madura tidak banyak orang mampu berbahasa Indonesia, Kiai Warits Ilyas sudah dikenal orang sebagai kamus berjalan. Kehebatan beliau juga masyhur di bidang logika, arudl-qawafi, dan balaghah.
Pada suatu hari datang seorang tamu yang membawa “masalah”. Si tamu mengajukan pertanyaan setelah ditanyai apa keperluannya. Ia mengaku tidak paham arti kata puntak.
Kiai Warits berkata bahwa beliau juga tidak tahu apa itu puntak. Lantas beliau balik bertanya dalam bahasa Madura, “Puntak? Apakah Anda tidak salah baca atau salah dengar?”
“Tidak, Kiai, memang begitu.”
“Bagaimana susunan kalimatnya?”
Si tamu tersenyum lebih dulu, malu-malu, setelah akhirnya menjawab, “Mohon maaf, Kiai. Saya temukan puntak ini dalam lagunya Rhoma Irama yang berjudul ‘Penasaran’. Begini: aku puntak/merasa heran/kalau dia/jadi rebutan ….”

legenda mahasiswa jogja

Sayuri, Legenda Mahasiswa Jogja yang Pasti Pernah Kamu Dengar Namanya

[MOJOK.CO] “Setiap kampus punya mahasiswa legendarisnya sendiri. Untuk legenda UIN Jogja satu ini, ia melampaui kampus.”
Gnomes, salah satu makhluk mitologi Yunani yang saya tahu dari Jorge Luis Borges, digambarkan sebagai peri tanah dan bukit yang—ini intinya—“lebih tua daripada usianya”. Di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Sekarang UIN Sunan Kalijaga), Sayuri setara dengan Gnomes dalam hal itu. Sudah lebih dari dua puluh tahun lalu ia kuliah di kampus Islam negeri tersebut, tetapi sampai sekarang namanya masih dituturkan banyak orang.
Sayuri berperawakan pendek, gempal, hitam, dengan kumis melintang khas orang Madura. Ia selalu ada di mana-mana: dari masjid, markas demonstran, hingga panggung dangdut Al-Jami’ah. Bila berkata, suaranya tebal dan tegas meski yang dibicarakannya hanya soal nasi angkringan. Cara jalannya tegap, cenderung membusung. Kerjaannya adalah marbot di masjid IAIN. Selain kuliah tentunya. Selain miara merpati pula.
Delapan dari sepuluh mahasiswa yang kuliah di Jogja pertengahan ’90-an pasti pernah mendengar namanya. Demikian juga tujuh dari sepuluh mahasiswa 2000-an. Hingga 2017, nama Sayuri masih tercetus dalam obrolan ngopi di sudut-sudut kota ini. Pasalnya dia menjadi legendaris ialah karena kisah-kisah semasa kuliahnya yang tidak biasa.
Ihwal masa kuliahnya yang legendaris itu tercermin dari obrolan begini.
“Kamu angkatan berapa?” tanya Faizi kepada saya. Kami memang sama-sama kuliah di IAIN Sunan Kalijaga.
“‘95. SPP-ku masih 180 ribu.”
“Aku di atasmu dua tahun, kalau Sayuri itu di atasku, sejak kampus ini pertama kali dibuka. Dan hingga sekian banyak angkatan di bawahmu, Sayuri masih berstatus mahasiswa. Bhaaa….”
Beberapa kisah legendaris Sayuri saya ringkas dalam berbagai hikayat yang tak lagi jelas kesahihannya berikut ini.
Azan Subuh
Sebagai marbot, jelas Sayuri tinggal di masjid, itu formalnya. Meski lebih sering ia tidak ada di sana karena kadang ada di asrama Madura, di asrama IAIN, dan entah di mana lagi.
Di masjid, salah satu tugas marbot adalah azan.
Pada suatu azan Subuh, begitu banyak orang yang tercekat oleh suara azannya yang khas mengumandang dari TOA masjid IAIN. Azan itu begitu singkat, padat, dan jelas, terdiri dari dua lantunan: Allahu Allahu akbar…. La ilaha illallaah….
Sudah, begitu saja.
Seorang dosen senior yang hendak salat di masjid itu mendatangi kamarnya. Dilihatnya Sayuri sedang lelap. Ia heran, lalu siapa yang azan barusan, yang jelas-jelas suara Sayuri?
Dibangunkannya Sayuri.
“Kamu yang azan barusan?”
“Iya, Pak,” sahutnya sambil ngucek-ngucek mata.
“Lha kok wes tidur, lagi pula azannya kok cuma dua baris gitu?”
Ia lalu menunjukkan kabel dan mikrofon yang ia desain menembus kamarnya. Dosen itu geleng-geleng kepala karena ternyata Sayuri azan sambil tiduran di kamarnya dan beneran tertidur lagi.
“Namanya juga ngantuk, Pak, jadi ketiduran habis azan. Saya juga lupa azannya gimana tadi. Kata Pak Malik, kalau lupa tidak ada hukumnya, Pak….”
Kursus Mengemudi
Saking lamanya Sayuri menghuni kampus dan selalu ada di mana-mana pertanda ia bisa diterima di mana-mana, dari PMII, Kemped, sampai Eska dan Al-Jami’ah, ia dekat dengan mayoritas dosen. Kepada salah satu dosen yang akrab, ia minta uang. Katanya untuk kursus nyetir mobil.
“Kalau saya sudah bisa nyetir, kan enak Bapak bisa mau nyuruh saya ke mana-mana….”
Sang dosen memberinya sejumlah uang. Sebulan kemudian Sayuri menghentikan langkah dosen itu di kampus.
“Gimana, Yur, sudah bisa nyetir?” tanya dosen itu teringat uang pemberiannya.
“Nah, itu dia, Pak, keperluan saya. Uang pemberian Bapak itu sudah saya pakai kursus nyetir. Sekarang saya minta uang lagi sama Bapak.”
“Lha, untuk apa lagi?”
“Dulu kan buat kursus nyetir maju, Pak, yang sekarang ini buat bayar kursus nyetir mundurnya.”
Makan di Warung
Sayuri masuk warung makan Jawa di wilayah Sleman arah Jalan Magelang dan memesan makanan.
“Sayure nopo, Mas?” tanya ibu warung bertanya dia mau makan sayur apa.
Sontak dalam hati ia membatin: wah, terkenal sekali aku ini, sampai ibu ini tahu namaku padahal ini jauh dari kampus IAIN.
“Ada apa saja, Bu?
“Campur mi godog mau, Mas?” tanya ibu warung lagi.
“Tidak, Bu, mi rebus saja.”
“Lha ya itu sama saja, Mas….” Ibu warung tersenyum. “Pakai endog, Mas?”
“Tidak, Bu, pakai telor saja.”
“Lha, ya itu juga sama, Mas.” Ibu warung menggeleng kecil. “Sayure nopo, Mas?
“Iya, Bu, nama saya memang Sayuri. Kok ibu bisa tahu ya nama saya padahal ini kan jauh dari kampus saya?”
Seusai Sayuri makan, ibu itu memutuskan berhenti jualan. Bhaaa….
Skripsi
Inilah bagian paling epik dari legenda Sayuri. Dari berbagai sanad yang tak bisa diverifikasi keabsahannya, dituturkan bahwa ia akhirnya lulus dengan pelbagai drama seputar skripsinya.
Salah satu dosen senior yang amat dekat dengannya adalah Pak Malik Madany. Kepada beliau, Sayuri kerap bertanya-tanya soal judul skripsinya. Suatu hari Sayuri mengajukan sebuah judul kepada Pak Malik.
“Peranan Pak Malik Madany dalam Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Itu judul skripsi saya, Pak, bagus nggak?”
Pak Malik jelas saja langsung ngakak nggak keruan.  “Gantilah, Yur, siapa gitu, Hasbi Ash-Shiddiqy kek….”
“Lha, saya ndak kenal, saya kenalnya Pak Malik….”
“Lha ya tetap gantilah….”
Besoknya Sayuri menemui Pak Malik lagi.
“Saya sudah dapat judul penggantinya, Pak.”
“Wah, apa?” Pak Malik menyimak.
“Peranan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap Pak Malik Madany. Bagus kan?”
Pak Malik mati gaya seketika.
Beberapa waktu kemudian Sayuri benar-benar mengajukan judul skripsi ke dosen prodinya di Fakultas Syari’ah. Judulnya: Peranan Unta dalam Pembentukan Hukum Islam.
Sang dosen terkekeh-kekeh. “Maksudmu apa to, Yur? Mendingan ganti jadi Peranan Merpati dalam Islam. Burung merpati kan kesenanganmu to….”
Sayuri menyimak dengan saksama lalu menyahut, “Tapi, kan Nabi tidak mainan merpati, Pak, kalau naik unta, iya.”
Finalnya, Sayuri pun ujian skripsi. Pengunjungnya membludak. Maklum, junjungan, legenda! Semua menyokong Sayuri untuk lulus ujian. Lalu wisuda.
“Yur, kamu kan menulis tentang penelitian cegatan amal untuk pembangunan masjid di Madura. Pertanyan saya begini: itu masjidnya jadi beneran tidak?”
Yang pernah ke Jawa Timur dan menemukan orang menadahkan wadah di jalan raya agar orang bisa menyumbang uang untuk pembangunan masjid, itulah cegatan amal.
Dengan penuh percaya diri, Sayuri menjawab lantang: “Itu bukan urusan saya, Pak, jadi tolong jangan tanya ke saya. Urusan saya adalah menyelesaikan skripsi ini….”
Semua orang terbahak, termasuk para dosen penguji.
Setelah suasana tenang, dosen itu bertanya lagi: “Setahumu saja, jadi tidak masjidnya?”
“Nanti ya, Pak, kalau saya pulang setelah lulus, setelah wisuda, saya akan tanya apa masjidnya sudah jadi belum.”
Silakan tambahkan lagi hikayat-hikayat Sayuri yang selalu mengguncang tawa. Kabar terakhir, ia ada di Jakarta, kerap muncul di kantor PBNU. Jika jumpa, silakan gali kisah-kisah epiknya langsung. Dijamin kejer!

cara mengisi kolom sex

Cara Mengisi Kolom “Sex” di Dokumen Sipil

[MOJOK.CO] “Maksudnya sex ini apa ya? Soalnya saya nggak ngerti bahasa Inggris.”
Adlun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, Halmahera. Dua pekan lebih dirinya menyempatkan diri singgah di Yogyakarta, tapi sayang, upaya bertemu Mince tak mulus. Putus asa, ia malah pergi mabuk bersama Yaklep. Ia juga bertemu Karjo, tapi Karjo cuek, karena ia tak kenal Adlun.
Kali ini saya juga tak lagi bercerita soal Adlun. Bosan. Tiap diceritakan kisahnya, cuma Adlun yang terkenal, saya nggak. Kali ini saya mau cerita tentang Saleh, seorang kawan asal tanah Tidore, deng Mona, sang istri yang baru dinikahinya beberapa waktu lalu.
Baru Tadi Malam
Demi merayakan hari-hari bahagia setelah menikah, Saleh berencana untuk mengajak Mona pergi bulan madu ke tanah Eropa di akhir tahun. Di sana Saleh sudah membayangkan bisa berpeluk hangat bersama sang kekasih sambil diguyur salju. Saya yakin, Saleh yang makhluk tropis akan segera terserang flu sesaat setelah tiba di Eropa.
Demi melancarkan niatnya, Saleh mengajak sang maitua pergi ke kantor imigrasi untuk mengurus paspor. Setibanya di kantor imigrasi dorang dua segera mengisi formulir.
Mona mulai mengisi satu per satu kolom identitas, mulai dari name, date of birth, age, dan seterusnya. Hingga pada satu kolom, Mona terhenti sejenak dan memanggil suaminya.
“Kaka, coba bantu saya dulu.”
“Ssst… isi saja, jang baribut! Ngana juga jang contek saya punya ni….”
“Seeeh, ngana kira kitorang lagi ujian sekolah ka?! Coba serius, bantu saya dulu.”
“Bantu apa?”
“Ini kolom sex saya tulis apa?”
“Ceeeh… kita kira apa. Tulis saja ‘baru tadi malam’.”
Mabuk
Usia pernikahan belum genap seratus hari. Pernah satu kali Saleh berkelahi dengan istrinya. Mona kesal sebab Saleh masih belum bisa mengurangi kebiasaannya minum sopi.
“Kaka, ngana ni harus stop minum-minum. Tra usah pi mabuk lagi. Bikin habis uang saja!” keluh Mona.
“Beeeh, ngana larang-larang kita minum, kong ngana masih juga rajin pigi salon. Beli makeup satu minggu habis tiga juta. Ngana lebih boros!” Saleh tak mau kalah.
“Kita pigi salon beli make up kan biar dapa liat cantik. Cantik ini kan buat ngana juga to!?”
“Ceeeh, emangnya ngana pikir kita ni ada minum-minum untuk siapa ka? Kita ni minum-minum demi ngana juga tooo!”
“Adoh, so gila ngana ni?! Bagimana bisa mabuk demi kita?”
“Iyo, kita mabuk biar ngana kelihatan cantik to….”
Tidur sama Ikan
Perkelahian suami istri muda itu mulai meredam. Keduanya sepakat untuk kembali berbaikan. Esok harinya, saat Mona hendak menyiapkan makan siang, ia mencoba memberikan kode-kode kepada sang suami dengan sebuah pertanyaan, “Dulu, waktu masih pacaran, ngana sering kase hadiah pa saya. Kinapa sekarang so trada?” tanya Mona.
“Hmmm… bagimana eee… emangnya ngana pernah lihat nelayan kasi makang ikan yang sudah dia tangkap?” seloroh Saleh.
Lalu, malam hari tiba.
“Sayang, buka pintu kamar kaaa… saya mo masuk tidur,” ujar Saleh.
“Tra usa masuk!”
“Adoh, sayang, kinapa saya tra bole masuk?”
“Memangnya ngana pernah lihat nelayan tidur sama ikan kaaa?!”
Nonton India
Saleh pernah tiba-tiba datang menemui sahabat karibnya Berto. Ia bermaksud untuk curhat perihal rumah tangganya yang baru ia bangun belum lama ini.
“Oi, kawan. Kita stres juga ni setelah kaweng,” keluh Saleh.
“Adoh, kiapa ngana stress? Justru orang-orang kaweng itu supaya dong pe pikiran itu tra stres,” Berto membalas.
“Iyo, kita stres, soalnya di rumah Mona hobiii sekali nonton film India, Nakusha.”
“Hahaha… kinapa bagitu?”
“Gara-gara Mona nonton Nakusha, kita makan Sarimi telur terus tiap hari. Minggu ini kalo masih tambah episode lagi, demi dewa… kita mo tiba di UGD.”
Vespa Tua
Sore hari, Tete (kakek) Sabri sedang duduk santai di beranda rumah. Tete Sabri adalah kakek dari Saleh dan ia telah lama menduda. Di beranda, kopi hitam dan lima batang rokok kretek hasil sitaan dari warung tetangga ikut menemaninya. Ia sedang memikirkan bagaimana jika dirinya kembali menikah, mengikuti jejak sang cucu kesayangan.
Angin sepoi semakin membuat dirinya rileks. Rasa santai itu ternyata membuat dirinya tak sadar bahwa celana Tete Sabri robek besar, tepat di bagian sang adik “Alfonso” berada.
Mace Lorens, tetangga sebelah yang tengah melintas pun kaget.
“Woooiii, Tete, ngana pe garasi tabuka tuuu!”
Tete Sabri yang kadung cuek dengan keadaannya pun menjawab, “Oi, Mace, berarti ngana so lihat ada motor Tiger hitam parkir di dalam tooo?”
“Ah, tarada…. Kita cuma lihat ada motor Vespa tua. Dia punya ban dua juga so kempes.”
“Eehh, Mace, ngana jang salah eee. Biar Vespa tua bagini, tapi de pu mesin itu Kawasaki Ninja.”
“Ceeeh… iyo, Kawasaki, tapi dia punya bensin so kering tuuu!”

benyamin sueb

Tebak-tebakan S. Bagio buat Benyamin Sueb

[MOJOK.CO] “Tebak-tebakan kayak begini nih: kenapa suara soang alias angsa kenceng?”
Naik Oplet
Nama populernya oplet, biasanya berupa mobil Morris buatan Inggris. Merek yang beredar di jalan-jalan Jakarta pada masa digdayanya adalah Austin. Lidah orang Betawi yang memang cenderung ngegampangin menyebutnya Ostin. Lebih ringkes, pake “O”, lidah kagak bakal kesrimpung nyebut au.
Sudah ada di Jakarta sejak 1950-an, puncak kejayaannya pada periode 1960—1970. Pada tahun 1979, karena alasan modernisasi ditinjau dari berbagai aspek, mungkin termasuk klaksonnya yang khas berada di samping luar sopir dengan bola karet yang dipencet dan berbunyi tet-tot, Ostin dikandangkan dan diganti mikrolet.
Mungkin karena karena pabrik karoserinya dulu berada di Meester Cornelis (sekarang Mester), maka rute utama yang paling rame dilewati Ostin adalah Jatinegara—Kota. Ada juga di rute-rute lain kayak Tanah Abang, Kebayoran Lama, Tanjung Priok, dan lainnya. Tapi kisah historis radikal ini terjadi di rute Jatinegara—Kota.
Ah, ya, sebelumnya perlu gue jelasin bahwa di banyak mobil Ostin jaman dulu sering ada tulisan “ANAK-ANAK GRATIS. DEWASA Rp.25.” Tidak selalu, dan kadang ada juga sopir Ostin yang nagih ongkos ke anak-anak.
Sore itu, sekira pukul 5, seorang bapak bersama dua orang anaknya menyetop sebuah Ostin di bilangan Matraman arah Jatinegara. Ostin berhenti, si bapak dan dua anaknya tidak langsung masuk ke dalam Ostin. Ia memastikan dulu tulisan di atas itu, mungkin karena uangnya pas-pasan. Tulisan itu ade!
“Anak-anak gratis nih, Pir?”
“Iye, Be. Babe doang yang kena ongkos.”
“Bae deh. Umar, Jenab naik! Abah jalan kaki. Pir, turunin di Pasar Mester ye?”
“Lah, Babe kaga ikut?”
“Nggak, gue mo jalan kaki aje. Cuman 2 kiloan enih!”
“Buset dah. Semua diitung bener,” gerutu si sopir sambil menjalankan mobilnya. Sekilas ia menengok ke belakang melihat dua anak itu, yang dibalas oleh senyum mereka ke si sopir.
“Jangan nyengir lu pade!” si sopir masih aje ngedumel.
Bolot
Sebelumnya gue kaga tau kalo Bang Wawan bolot. Iye, budeg. Kami tinggal di Gang Mujaer, bilangan Tebet. Kadang di hari Minggu kami pergi mancing ikan. Biasanye sih kami patungan ngeborong empang. Lalu masing-masing mancing, yang dapet banyak, ya rejekinye. Minggu itu kami mancing di bilangan Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Sebuah empang yang berisi campuran ikan mas, nila, dan sedikit gurameh kami borong. Gue nongkrong di sisi barat bersebelahan dengan Mat Sani, Bang Wawan di depan kami di sisi timur.
Dari Mat Sani ini gue baru tau kalo Bang Wawan begitu. “Ntar dah, lu geroin die kalo die dapet ikan,” Mat Sani meyakinkan.
Setelah melempar beberapa umpan pancingnya ke kolam, Bang Wawan memakan Indomie yang ia pesan dari warung. Nggak lama sebuah umpannya dimakan ikan, Bang Wawan langsung menyentak joran pancingnya. Tak lama seekor ikan mas ia angkat. Mat Sani langsung kasih kode ke gue untuk segera membuktikan. Gue pun teriak.
“Wih, ikan mas gede. Umpannye ape, Bang Wawan?”
“Indomie, Leh. Tu banyak di warung. Enak, pake cabe ame daon kemangi.”
Mat Sani langsung meneblak (memukul) punggung gue, “Gue kate juga ape! Sekarang lu mau terus mancing ape pulang nih?”
Minggu depannya, hari masih pagi, gue nongkrong di bawah pohon jambu aer sambil makan nasi uduk. Tiba-tiba Bang Wawan keluar dari rumahnya menghampiri dan ngedeprok di sebelah gue sambil kebal-kebul asap rokok dan nenteng secangkir kopi. Kaga lama, Mat Sani lewat membawa joran pancing panjang. Keliatan dia mau mancing sendirian.
“Mo ke mane lu, Mat?” tanya Bang Wawan.
“Mancing. Mo nyari kocolan (ikan gabus), Wan.”
“Oh, kirain mo mancing,” Bang Wawan tersenyum elegan sambil nyeruput kopinya.
Tiba-tiba Mat Sani balik langkah ke arah rumahnya lagi.
“Kenape? Ade yang ketinggalan, Mat?” gue nanya.
“Kaga! Gue kaga jadi mancing, gara-gara ditanya orang sebelah lu tuh!”
Kuliah
Sudah 8 tahun Basit kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Basit berasal dari pinggiran selatan kota Jakarta. Betawi turun-temurun. Ketika akhirnya kuliahnya rampung, orang tuanya bangga banget. Basit pulang kampung langsung babenye mau buat selametan buat Basit. Basit sebetulnya ogah karena agak malu.
“Babe baru panen rambutan rapiah di kebon. Lumayan dapet lima karung mah. Alhamdulilah ade nyang langsung ngeborong. Besok Babe bikinin selametan buat lu ye, Sit?”
“Kaga usah repot-repot, Be. Tapi ya, terserah Babe deh.”
Usai Magrib para tetangga dan kerabat dekat berdatangan. Termasuk engkongnya Basit yang lansung ngedeprok di sebelah cucu kesayangannya itu.
“Jadi lu kuliah di mane, Tong?”
“Di IAIN, Kong.”
“Lah, Babe lu kate lu kuliah di Yogya?”
“Iye, IAIN Yogya.”
“Oh… IAIN Gajah Mada ye? Sohor tuh!”
Basit menunduk, berujar pelan, pelan banget, “Iyeee…” sambil mengurut-ngurut jempol kakinya.
Suara Soang
Satu kali dua mendiang maestro lawak Indonesia ini tampil satu panggung: Benyamin Sueb dan S. Bagio.
Bagio: “Ben, lu tau kenape suara soang (angsa) keras?”
Ben: “Ah, ade-ade aje, lu. Kaga tau gue. Ude dari sononye begitu.”
Bagio: “Payah lu! Itu karena leher soang panjang. Makanye suaranye keras.”
Ben: “Yo, lu tau uler kan? Badannye dari kepala sampe buntut leher semua. Suaranye keras kaga?”

hukuman jendela pecah

Jendela, Jendela Apa yang Kalau Dipecahkan, Hukumannya Penjara 20 Tahun?

[MOJOK.CO] “Jawab dulu tebak-tebakannya baru pecahkan jendela, eh baca mopnya.”
Harga Mi
Pukul 11 malam, tetiba perut Ungke keroncongan. Dia lalu menuju meja makan dan tidak menemukan apa pun di sana.
Ungke lantas menuju warung terdekat, warung milik Om Alo, yang ternyata sudah ditutup. Karena langganan, ia yakin Om Alo pasti bangun, maka Ungke ketuk saja itu pintu warung. Tok, tok, tok….
“Sapa itu?” teriak Om Alo dari dalam warung.
“Ungke, mo babeli Supermi,” jawab Ungke sambil merogoh saku celananya. Ternyata uangnya tinggal seribu.
“Supermi rasa kari ayam berapa, Om?” tanya Ungke.
“Tiga ribu.”
“Kalu rasa soto ayam?”
“Dua ribu lima ratus,” jawab Om Alo masih dari dalam warung. Ia belum membuka pintu, menunggu Ungke habis bertanya.
“Kita pe doi tinggal saribu, Om. Supermi rasa apa yang harga saribu?”
Kesal dengan pertanyaan Ungke, Om Alo yang sudah mengantuk itu menjawab, “Rasa tahi ayam!”

Mumi
Ungke dan Utu pergi ke museum untuk melihat mumi yang sedang dipamerkan.
“Ngana so pernah lia mumi?” tanya Utu.
“Belum pernah. Ngana le belum to?”
“Iyo, sama,” kata Utu.
Setelah masuk ke museum, Utu terperangah melihat mumi yang sekujur tubuhnya seperti dibalut tisu toilet.
“Eh, kiapa ada tulis 5050 SM?” tanya Utu sambil menunjuk angka di bawa peti mumi.
Setelah menggaruk-garuk kening, Ungke menjawab, “Mungkin itu pelat nomor oto yang tabrak pa dia.”

Ketemu Kuntilanak
Suatu malam Ungke baru saja dari rumah temannya. Di jalan pulang itu Ungke melewati kebun pisang yang terkenal angker.
Baru saja sepertiga perjalanan, dari balik rerimbun daun pisang muncul kuntilanak. Ungke yang beragama Kristen segera membaca doa.
“Oh, Tuhan Yesus! Hancurkanlah iblis-iblis pengganggu ini!”
Tetiba Kuntilanak itu mendengus lalu berkata, “Mulai le balapor. Sama deng anak kacili jo ngana!” Kemudian kuntilanak itu menghilang.

Anjing Lapar
Warung makan Tanta Kori terkenal karena masakannya yang lezat. Ungke yang kelaparan siang itu mampir ke sana.
“Pesan ikang tuna bakar dang,” kata Ungke.
Setelah pesanan datang, Ungke segera menyantapnya. Saat lahap-lahapnya, Tanta Kori terus memperhatikan cara makan Ungke.
“Eh, Tanta, kiapa haga-haga terus?” tanya Ungke yang sadar dirinya diperhatikan sedari tadi.
“Ngana pe makang sama deng anjing lapar bagitu,” kata Tanta Kori.
Ungke hanya diam. Setelah menandaskan makanan, Ungke beranjak dari kursi lalu keluar.
“Eh! Ngana belum bayar so langsung pancar!” teriak Tanta Kori.
“Hih! Pernah lia so anjing makang kong babayar?” jawab Ungke.

Anjing Pandai
Utu pergi ke rumah Ungke untuk memamerkan anjing impor peliharaannya.
“Kita pe anjing ini pande skali. Tiap pagi papa’ pe koran di muka rumah, dia ambe kong bawa maso,” cerita Utu.
Ungke hanya asyik mengelus-elus anjing kampung peliharaannya.
“Kalo molempar bola, dia le mo main bola,” lanjut Utu.
“Kita so tau samua tu cirita,” kata Ungke.
Utu yang heran lantas balik bertanya, “Sapa yang cirita?”
“Kita pe anjing,” kata Ungke.

Beli Rokok
Ungke disuruh ayahnya membeli rokok. Mendapati warung Om Alo ditutup, ia terpaksa berjalan kaki menuju warung Om Kiko.
“Hoiii! Babeliii!” teriak Ungke di depan warung. Om Kiko ini dikenal agak budek.
“Hoooiii! Babeliii rokoook!”
“Beliii roookoookkk!” berkali-kali Ungke teriak.
Setelah hampir sepuluh kali berteriak, Om Kiko muncul dari kamar mandi yang ada di warung.
“Ngana bataria terus. Ndak ada yang pongo (budek). Berapa liter mo beli?”

Asal Bukan Jambore Mojok
Ungke pe opa baru saja meninggal. Dari cerita Oma, sebelum meninggal Opa minta agar saat dimasukkan ke peti, ia didandani dengan memakai baju Pramuka lengkap.
Saat acara perkabungan, banyak sanak keluarga yang menangis. Termasuk Ungke.
Melihat semuanya menangis, Oma yang ikutan sedih coba menenangkan diri dengan mengingat masa-masa ketika Oma kali pertama bertemu Opa saat kegiatan pramuka.
Setelah tenang, Oma lantas coba menenangkan kerabat lainnya.
“Anak-anak, cucu, dan cece sekalian. Sodara-sodara juga yang dari jauh. Jangan bersedih,” kata Oma.
Setelah menyeka air matanya, Oma melanjutkan penyampaiannya.
“Opa sebenarnya tidak ke mana-mana. Opa cuma pigi Jambore.”

Siram Bunga
Seminggu setelah Opa dimakamkan, Ungke jadi lebih sering main ke rumah omanya.
Sore itu, sesampai di rumah omanya, tetiba hujan turun. Oma yang tengah asyik menonton tivi menyuruh cucu kesayangannya itu.
“Itu bunga kote belum siram. Coba ngana siram dulu,” kata Oma.
“Ada ujang keras kwa itu, Oma,” jawab Ungke.
“So ngana ini cucu paling bodok. Pake payung no!” teriak Oma.

Gara-Gara Pecahkan Jendela, Penjara 20 Tahun
Di rumah oma Ungke, ada Om Joney yang baru saja keluar dari penjara. Om Joney ini kakak dari mamanya Ungke. Ia sudah bercerai dengan istrinya lalu memilih tinggal berdua dengan Oma.
Ungke yang belum akrab dengan Om Joney coba mendekatinya saat berada di dapur.
“Om, kiapa Om ada penjara so?” tanya Ungke.
“Ada kase pica kaca jandela dulu di tampa karja,” kenang Om Joney.
“Cuma kase pica kaca jandela kong hukuman sampe 20 taong?” selidik Ungke.
Om Joney hanya menghela napas kemudian berkata,

dapat pulsa gratis

Dapat Pulsa dari CELUP

[MOJOK.CO] “Padali pulsanya banyak, katanya dapat dari CELUP. Iwan tentu penasaran, dia upload foto apa? Simak mop hari ini.”
Nama-Nama Arab
Pak Guru Iwan berencana pulang lebih awal hari itu. Tetapi, Padali, teman seposko KKN yang bertugas mengajar pelajaran Agama, lagi sibuk ke kota mengurusi anggaran lomba desa. Mau tak mau, Iwan mesti mengisi kekosongan jam pelajaran Agama.
“Anak-anak, kalian mesti tahu. Sebaik-baiknya nama adalah nama yang mengandung doa,” Iwan mulai menerangkan di depan kelas.
“Kalo nama Rahman, termasuk doa itu Pak Guru?” tanya Idu di sela-sela penjelasan.
“Iya, Idu… Rahman itu termasuk doa karena artinya ‘Yang Maha Pengasih’,” Jawab Iwan.
“Oh… kalo Toni dang Pak Guru?” Idu langsung bertanya.
“Toni juga termasuk doa, Idu….” Pak Guru Iwan mulai kesal dengan pertanyaan Idu.
Tak puas, Idu kembali bertanya, “Ih… tapi kan Toni ndak ada dalam Al-Quran, Pak Guru?”
Mendengar namanya disebut, Toni langsung berdiri.
“Sapa bilang kita pe nama nda ada dalam Alquran?” Toni mulai naik pitam.
“Heh, memang ngana pe nama ndak ada dalam Alquran noh,” Idu mulai memancing kegaduhan.
“Sudah, sudah. Ngoni dua nda usah bakalae. Toni itu termasuk nama yang sering disebutkan dalam Al-Quran,” lerai Pak Guru Iwan.
“Kalo ndak percaya, nanti Pak Guru kase liat pa ngoni,” kata Pak Guru.
Pak Guru Iwan mengambil mushaf kecil dari dalam tas. Ia membuka lembaran surat Al-Fatihah lalu bersiap mengaji.
“Ngoni dua dengar bae-bae,” pesan Pak Guru.
“A’udzubillahiminassyaitonirrojiiimmm.”

Tukang Parkir
Padali baru saja pulang dari kota. Sewaktu berpapasan dengan Iwan, ia langsung mengajak Iwan pergi ke pasar untuk menraktir makan. Katanya, ini sebagai rasa terima kasih karena sudah sudi menggantikan tugas mengajarnya.
Mereka berdua berboncengan ke pasar. Sesampai di parkiran, Padali langsung buru-buru masuk ke dalam pasar sembari membiarkan motornya tanpa dikunci setang serta helm KYT bertengger bebas di atas spion.
“Padali, ndak papa itu motor deng helm ngana kase biar bagitu tanpa takunci?” Iwan memperingatkan ketelodoran kawannya.
“Sudah, tenang jo ngana, Iwan. Serahkan semuanya pa Tuhan.”
“So terlalu leh ngana. Tuhan kong ngana suruh jaga parkir noh.”

Pulsa Gratis
Padali terkekeh sendirian ketika hari itu nomor HP-nya diisi pulsa sebesar 300 ribu. Penasaran, Iwan langsung menyelidik, jangan-jangan Padali memanfaatkan dana lomba desa untuk kepentingan pribadi.
“Kita liat ngana pe banyak pulsa. Bukan pake uang kegiatan ini?” tanya Iwan.
“Eh, itu mulut pe asal batuduh. Asal ngana tau, Ini pulsa bonus dari CELUP.”
“Emang ngana da ba-upload apa so?” Iwan penasaran.
“Fake Taxi.”

Pesan buat Mama
Sepulang dari sekolah, rumah Idu didatangi petugas penagih TV kabel. Sudah dua bulan lebih rumah itu menunggak pembayaran. Kalau menunggak lagi, pihak penyedia TV kabel mengancam akan mencabut layanannya.
Begitu mendengar pintu rumah diketuk petugas, Mama Idu bergegas balik ke dapur dan menyuruh Idu membuka. “Kalo dorang ba cari sama ti mama, bilang ti mama lagi kaluar ada pigi di pasar,” begitu pesan Mama Idu.
Berbekal pesan mamanya, Idu pun membuka pintu rumah.
“Dek, ti Mama ada?”
“Ti Mama lagi kaluar, Om. Lagi ke pasar,” jawab Idu, persis seperti pesan ibunya.
“Oh. So dari tadi ada kaluar dek?” selidik pegawai TV kabel.
“Iya, Om. So daritadi ada pigi (pergi).”
Mendengar orang yang dimaksud tidak berada di tempat, penagih TV kabel itu hendak pamit. Tapi, sewaktu ia membalikkan badan, ia merasa ada sesuatu yang janggal.
“Dek, boleh titip pesan buat Mama?”
“Oh, boleh sekali, Om. Apa so?”
“Bilang pa ti Mama, lain kali kalo mo pigi di pasar, jangan kase tinggal kaki di belakang pintu.”

Saya Orangnya Memang Begitu
Mawar—sebut saja begitu, tempo hari dicopet saat merayakan pergantian tahun. Tak terima dengan kejadian itu, Mawar memutuskan melapor ke polisi.
“Jadi Anda dicopet di dekat alun-alun saat perayaan tahun baru kemarin?” tanya Pak Polisi.
“Iya, Pak.”
“Di situ kan ramai, kenapa Anda tidak berteriak minta tolong?” selidik Pak Polisi.
“Saya takut, Pak,” jawab Mawar pasrah.
“Anda diancam sama pelaku?”
“Tidak, Pak,” jawab Mawar.
“Mulut Anda disumpal?”
“Tidak juga, Pak.”
“Loh, lalu kenapa Anda tidak berteriak?”
“Saya orangnya pendiam, Pak,” aku Mawar.

strategi agar tidak disuruh mengerjakan soal di depan kelas

Strategi Agar Tidak Disuruh Mengerjakan Soal di Depan Kelas Kamu takut disuruh guru atau dosenmu maju ke depan kelas buat ngerjain s...